Rabu, 28 Januari 2015

Pemikiran Socrates



SOCRATES
1.      Biografafi
Dalam sejarah filsafat yunani kita bisa menemukan lahirnya banyak pemikir-pemikir yang sangat berguna bagi perkembangan dunia, dan juga kita bisa menemukan bagaimana para pemikir itu berusaha untuk mengubah keadaan dan cara berfikir yang ada didaerah kelahirannya. Tentunya dalam perkembangan yang diusahakan itu para filsuf yunani menemukan berbagai protes dari masyarakat saat itu, contohnya seperti Socrates yang berusaha untuk mengubah pemikiran didaerahnya akan tetapi selalu mendapatkan perlawanan dari para lawannya. Socrates adalah sosok yang dianggap sebagai seorang nabi bagi para pengikut ajaranya sebab salah satu pemikiran yang berusaha dia ubah adalah proses ibadah saat itu yang terlau mensakralkan benda-benda gaib. Athena adalah daerah dimana dia memulai mengajarkan konsep-konsep pemikiranya sebab daerah Athena ini adalah tempat kelahiran Socrates.[1] Pemikir ini lahir pada tahun 470 SM dan menurut sejarahnya bahwa Socrates memiliki seorang ayah yang berprofesi sebagai pemahat patung bernama Sophroniskos sedangkan ibunya bernama phainarete adalah seorang bidan di Athena. [2]    
Sewaktu muda Socrates pernah menjadi seorang anggota tentara karena pada waktu itu Athena khususnya selalu mendapatkan serangan dari berbagai wilayah yang ada didekatnya. Socrates tidak pernah sedikitpun meninggalkan kampung halamanya jika hanya untuk masalah yang kecil dan tidak penting selain untuk berperang, sebab dia sangat mencintai tanah kelahiranya itu. Pada masa tuanya setelah dia keluar dari keanggotaan militer Socrates ingin mengubah pemikiran masyarakatnya dengan konsep pemikiranya sendiri sebab dia mulai resah dengan perilaku kehidupan umum yang ada di Athena. Akhirnya Socrates memulai mengajarkan ajaranya yang dimulai dari para pemuda-pemuda yang ada di Athena, hal ini dikarenakan menurutnya para pemuda masih memiliki pemikiran yang kritis mengenai kehidupan ini, mereka juga sering menanyakan bagaimana sesuatu terjadi dan bagaimanakah sesuatu itu hilang. Inilah beberapa factor yang menyebabkan Socrates memulai ajaranya dari para pemuda Athena. Akan tetapi Socrates dalam sejarahnya saat menjalankan ajarannya itu selalu dipenuhi banyak kedukaan dan yang paling ironis adalah dia dihukum mati oleh rezim saat itu karena pemikiranya.
2.      Pemikiran Socrates
a.       Tentang metode berfilsafat
Socrates adalah filsuf Athena pertama yang mengajarkan cara berfikir dengan konsep pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada lawan bicara. Hal ini bias kita anggap sebagai metode dialektika, sebab setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang kita lontarkan pada lawan bicara maka kita pula akan mencari jawaban kedua, ketiga, dan seterusnya sehingga kita bisa mengambil kesimpulan dari jawaban-jawaban tadi. Hal ini mungkin bisa kita katakan juga sebagai metode induksi sebab jika di telaah secara mendalam maka kesimpulan yang kita ambil tadi adalah merupakan kesimpulan yang umum dari berbagai jawaban yang bersifat khusus. Sebagai contoh ketika Socrates bertanya pada mahasiswanya
’’pengetahuan itu apa? Mahasiswa itu akan menjawab ilmu pasti, ilmu perbintangan dan lain sebagainya. Socrates menyela,’bukan itu yang kumaksud akan tetapi adalah pengertian dari pengetahuan? Maka mahasiswa itu akan menjawab lagi’’pengetahuan adalah penglihatan, sebab apa yang saya lihat merupakan pengetahuan yang saya dapatkan’’[3]
Begitulah cara Socrates dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaanya sehingga pada akhirnya dia dapat menarik sebuah kesimpulan dari banyaknya jawaban yang didapatkanya. Metode berfilsafat yang ditawarkanya ini adalah sebuah metode berfikir yang nantinya akan dikembangkan oleh para murid maupun sahabat-sahabatnya seperti xenhopon, ariestoteles, plato, dan ariestophanes. Inilah yang mungkin menurut kita semua menjadi proses awal terbentuknya metode berfikir induksi seperti apa yang dijalankan oleh ariestoteles pada zaman yunani kuno dan francis bacon pada zaman renaisains, kemudian dijerman seorang filsuf yang bernama Hegel yang mencoba menawarkan metode berfikir seperti ini. Oleh karena itu kita perlu memberikan suatu apresiasi yang besar atas pemikiran Socrates ini sebab metode berfikir seperti ini banyak digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari dan juga metode ini menawarkan sikap yang ideal dalam menghadapi semua permasalahan kehidupan yang sangat kompleks ini.      

b.      Tentang objek baru dalam penelitian filsafat
Socrates adalah sosok yang sangat berbeda dari para filsuf yang ada sebelum dirinya, hal ini dapat kita lihat dari permasalahan objek kajian filsafat bagi Socrates. Objek yang sangat penting bagi filsafat menurutnya bukanlah lagi alam seperti apa yang telah disinggung oleh para pendahulunya, akan tetapi adalah manusia. Hal ini dikarenakan manusia adalah segala yang menjadi penentu alam atu pemelihara alam sehingga manusia bagi Socrates haruslah menjadi sosok yang bersifat melindungi baik alam maupun sesamanya. Karena itulah seorang filsuf Roma yang bernama seperti dalam kutipanya mengatakan bahwasanya’’socrates telah menurunkan filsafat dari langit dan telah menyebarkanya demi kebaikan umat manusia, ia mengganttarkanya ke kota-kota, memperkenalkanya ke rumah-rumah, dan memaksanya untuk menelaah khidupan, etika, dan kebaikan’’.[4]
Karena pandangan seperti ini maka tak jarang Socrates pada masanya sering dikatakan sebagai seorang nabi yang telah diutus oleh yang maha kuasakedunia ini untuk menjalankan dan menyebarkan segala bentuk keadilan agar dunia ini menjadi tertata dengan sebaik-baiknya. Olehnya Socrates dalam kehidupanya jarang sekali membicarakan masalah alam atau nature, sebab baginya alam adalah urusan tuhan. Apakah dunia ini dijadikan dari apa dan untuk tujuan apa itu merupakan urusan tuhan semata, manusia hanyalah pemelihara alam yang telah dititipkan kepada kita sebagai mahluk yang berakal. Hal inilah juga yang menyebabkan para sejarawan modern tidak memasukan Socrates dalam kumpulan filsuf alam sebagaimana thales, phytaghoras, anaximendes, Heraclitus, Democritus, dan lain-lain.

c.       Tentang etika dan jiwa
Dalam konsep etika Socrates kita akan dikenalkan pada konsep ‘’eudomonia’’ yang artinya kebahagiaan. Kebahagiaan ini adalah menjadi tujuan tertinggi manusia dan sekaligus menjadi ketenangan jiwa bagi manusia itu sendiri. Jiwa menjadi tenang diakibatkan dalam jiwa itu telah terdapat banyak kebaikan-kebaikan yang dengan itu manusia bisa mencapai suatu kebahagiaan yang hakiki. Jika seorang manusia telah menemukan kebahagiaan yang menjadi tujuan itu maka diri dan jiwanya akan mendapatkan atau secara inheren akan melekat suatu sikap yang Socrates menyebutnya dengan ‘’keutamaan’’.

Socrates mengatakan bahwa’’tujuan tertinggi manusia adalah membuat diri dan jiwanya menjadi sebaik mungkin’’, yang dimaksud jiwa disini bagi Socrates adalah kepribadian yang menjadi intisari manusia.[5] Kepribadian atau jiwa manusia ini jika baik maka jiwa itu akan mendapatkan suatu keutamaan yang sangat tinggi dan tidak mungkin jiwa yang baik itu akan memalingkan dirinya dari suatu keutamaan. Hal ini dikarenakan jiwa itu telah mencapai konsep eudomonia tadi yaitu kebahagiaan tertinggi yang menjadi tujuan hidup manusia. Keutamaan ini memiliki suatu kebaikan yang pasti melekat padanya sampai kapanpun sebagai contoh  ketika seseorang memiliki keutamaan sebagai pemahat patung maka patung yang akan dihasilkanya adalah patung yang bagus dan baik sebab memahat telah menjadi keutamaannya.
Keutamaan dan kebaikan adalah dua hal yang sangat koheren atau berkaitan, sebab tidak akan mungkin seseorang yang telah memiliki keutamaan maka ia akan menghasilkan hasil yang buruk. Seseorang dikatakan memiliki keutamaan apabila sesuatu yang dihasilkanya selalu dalam kualitas baik dan tidak memiliki keutamaan jika yang dihasilkanya belum berkuualitas baik atau masih buruk. Selanjutnya Socrates membagi keutamaan menjadi tiga bagian pertama jika manusia melakukan suatu kesalahan dengan sengaja maka ia tidak mempunyai pengetahuan tentang kebaikan, sebab jika seseorang melakukan keburukan dengan sengaja maka berarti ia belum paham bahwa yang dilakukanya itu adalah sebuah keburukan. Kedua keutamaan itu menyeluruh, contohnya ketika seseorang memiliki sifat tidak sombong, maka secara otomatis dia juga adalah sosok yang adil, baik, dan sebagainya, sebab keutamaan itu tidak mungkin hanya memiliki satu kebaikan saja. Ketiga keutamaan itu adalah pengetahuan, maka keutamaan itu bisa kita ajarkan pada orang lain.[6] 
Itulah beberapa pembagian keutamaan bagi Socrates yang dapat kita jadikan sebagai acuan dalam hidup ini supaya tetap berbuat baik, akan tetapi tidak ada salahnya juga bila kita mengkritiknya. Tentunya ini bukan merupakan acuan kita satu-satunya tapi jika diteliti secara seksama maka etika yang ditawarkanya ini bisa di anggap sebagai motivasi bagi kita  dalam hidup ini.


[1] Maskur Arif Rahman, Sejarah filsafat Barat, (Yogyakarta: IRGISoD, 2013), hal. 136
[2] Ibid,. hal 137
[3] Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend, (Bandung: Teraju, 2003), hal. 24

[4] Josteein Garder, Dunia Shophi, (Bandung: Mizan,2001), hal. 52
[5] K. Bertrens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 108
[6] Lihat Maskur Arif Rahman, Sejarah filsafat Barat,... hal. 147

Senin, 12 Januari 2015

TANTANGAN DALAM DAKWAH



TANTANGAN DALAM DAKWAH
A. Kejumudan (kebekuan) berfiikir.
Hampir semua Gerakan Dakwah mengalami kejumudan sehingga terhentinya pembaruan kendati sudah melewati perjalanannya berpuluh-puluh tahun. Keberanian dan kemauan melakukan tajdid al-manhaj al-haroki al-fikri (pembaruan konsep pemikiran harokah) dan al-manhaj al-haroki al-‘amali (konsep aktivitas harokah), hampir tidak ada, khususnya terkait dengan masalah-masalah ijtihadiyah para pendirinya sejak puluhan tahun yang lalu. Akibatnya, Gerakan Dakwah tidak bisa menampung al-‘uqul al-kabiroh (pemikiran-pemikiran besar) – meminjam Istilah Dr. Yususf Al-Qardhawi – yang datang dari para aktivisnya sendiri, apalagi dari luar. Tajdid tersebut amat diperlukan agar terjadi proses penyempurnaan dan akselarasi dengan perkembangan dan kebutuhan dakwah masa kini. Tajdid juga berfungsi melurusakn penyimpangan amaliyah maidaniyah, khususnya bila memasuki lapangan politik praktis. Di samping itu, tajdid melahirkan pemikiran-pemikiran, konsep-konsep dan rumusan-rumusan baru yang kontekstual, moderen dan futuristik, namun tetap komitmen dengan asholah (orisinilitas)-nya. Di samping itu, tidak ada keberanian merumuskan dan mendesain ulang format, strategi, perencanaan, program dan target-target Gerakan Dakwah masa kini untuk menjawab berbagai tantangan zaman, sehingga Gerakan Dakwah mampu menjelaskan nilai-nilai Islam dalam bentuk amal, alternatif dan keteladanan. Akhirnya, yang menonjol di lapangan adalah seruan-seruan moral dan penjelasan-penjelasan nilai yang sifatnya baku dan berulang-ulang.
B. Model dan dan gaya kepemimpinan.
Rata-rata dalam parkateknya, model kepemimpinan Gerakan Dakwah adalah model masyayikh (kekiayan tradisionil), kendati dalam konsep dan teorinya meniru gaya kepemimpinan Rasulullah dan para Sahabat. Model kepemimpinan masyayikh tradisionil itu di antara cirinya ialah tidak ada yang berani mengkritik dan memprotes keputusan atau keinginan sang pemimpin, kendati nyata-nyata berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Akhirnya, pemimpin diposisikan pada posisi yang berlebihan, dan bahkan kadangkala melebihi Nabi, atau di Indonesia dikenal dengan wali. Kurangnya keberanian dan kemauan membenahi model dan gaya kepemimpinan yang tidak sesuai dengan spirit Islam itu sendiri, seperti model masyayikh tradisonal, secara otomatis membuka peluang bagi para aktivis harokah untuk mengkultuskan pemimpin, jama’ah dan partai mereka. Pada waktu yang sama tidak akan pernah membuka peluang lahirnya kepemimpinan yang lebih baik dan lebih berkualitas dari sebelumnya.
C. Ta’sh-shub jama’i, qiyadi dan Hizbi (Fanatink pada jama’ah. Pemimpin dan partai).
Ta’sh-shub tersebut menjadi ancaman serius bagi Gerakan Dakwah. Sebab, secara syar’i, ta’ash-shub adalah perbuatan jahiliyah yang sangat dibenci. Secara fakta di lapangan, ta’ash-shub pada ketiga hal tersebut juga telah melahirkan persaingan dan perpecahan di kalngan umat, khususnya di kalangan antar aktivis Gerakan Dakwah yang berbeda nama dan payung. Dengan demikian, Gerakan Dakwah akan kehilangan banyak peluang Dakwah dan interaksi dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk antar sesama aktivis Gerakan Dakwah yang berbeda nama dan warna. Ini juga merupakan salah satu penyebab yang memperlambat perkembangan dan pertumbuhan Gerakan Dakwah itu sendiri.
D. Keenggenan menjadi al-‘unshur al-jaami’, ( faktor perekat) bagi kalangan Gerakan Dakwah lainnya, juga bagi umat Islam secara luas, dan bahkan ironisnya dalam kalangan jamaah sendiri. Di antara penyebabnya ialah suburnya penyakit ta’ash-shub jama’i, qiyadi dan hizbi (fanatik buta terhadap jama’ah, pemimpin dan partai) serta pemikiran pemikiran masing-masing Gerakan Dakwah, seperti yang disebutkan pada poin 3 di atas. Bahkan terkadang lahir sebuah pendapat dan sikap yang keliru seperti “right or wrong is my jama’ah, may leader and my party”. Ironisnya, dalam lapangan politik praktis seringkali berkoalisi dengan tokoh, atau partai atau kelompok yang nyata-nyata musuh Islam atau paling tidak tidak menyukai tegaknya Islam sebagai the way of life di negeri mereka tinggal.
E. Kelemahan mawarid basyariyyah (sumber daya manusia) dalam berbagai bidang ilmu.
Kelemahan SDM tersebut mengakibatkan terjadinya kelemahan ruhiyah (mental) dan uswah (keteladanan) sebagai syarat mutlak menjadi khoiru ummatin ukhrijat linnas (umat terbaik dan berkualitas tinggi yang tampil di tengah-tengah manusia) dalam mengemban missi khalifatullah yang akan memakmurkan kehidupan umat manusia di atas muka bumi melalui nilai-nilai Islam yang amat adil danmanusiawi.