TANTANGAN DALAM DAKWAH
A. Kejumudan (kebekuan) berfiikir.
Hampir semua Gerakan Dakwah mengalami kejumudan
sehingga terhentinya pembaruan kendati sudah melewati perjalanannya
berpuluh-puluh tahun. Keberanian dan kemauan melakukan tajdid al-manhaj
al-haroki al-fikri (pembaruan konsep pemikiran harokah) dan al-manhaj al-haroki
al-‘amali (konsep aktivitas harokah), hampir tidak ada, khususnya terkait
dengan masalah-masalah ijtihadiyah para pendirinya sejak puluhan tahun yang
lalu. Akibatnya, Gerakan Dakwah tidak bisa menampung al-‘uqul al-kabiroh
(pemikiran-pemikiran besar) – meminjam Istilah Dr. Yususf Al-Qardhawi – yang
datang dari para aktivisnya sendiri, apalagi dari luar. Tajdid tersebut amat
diperlukan agar terjadi proses penyempurnaan dan akselarasi dengan perkembangan
dan kebutuhan dakwah masa kini. Tajdid juga berfungsi melurusakn penyimpangan
amaliyah maidaniyah, khususnya bila memasuki lapangan politik praktis. Di
samping itu, tajdid melahirkan pemikiran-pemikiran, konsep-konsep dan
rumusan-rumusan baru yang kontekstual, moderen dan futuristik, namun tetap
komitmen dengan asholah (orisinilitas)-nya. Di samping itu, tidak ada
keberanian merumuskan dan mendesain ulang format, strategi, perencanaan,
program dan target-target Gerakan Dakwah masa kini untuk menjawab berbagai tantangan
zaman, sehingga Gerakan Dakwah mampu menjelaskan nilai-nilai Islam dalam bentuk
amal, alternatif dan keteladanan. Akhirnya, yang menonjol di lapangan adalah
seruan-seruan moral dan penjelasan-penjelasan nilai yang sifatnya baku dan
berulang-ulang.
B. Model dan dan gaya kepemimpinan.
Rata-rata dalam parkateknya, model kepemimpinan
Gerakan Dakwah adalah model masyayikh (kekiayan tradisionil), kendati dalam
konsep dan teorinya meniru gaya kepemimpinan Rasulullah dan para Sahabat. Model
kepemimpinan masyayikh tradisionil itu di antara cirinya ialah tidak ada yang
berani mengkritik dan memprotes keputusan atau keinginan sang pemimpin, kendati
nyata-nyata berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Akhirnya, pemimpin diposisikan
pada posisi yang berlebihan, dan bahkan kadangkala melebihi Nabi, atau di
Indonesia dikenal dengan wali. Kurangnya keberanian dan kemauan membenahi model
dan gaya kepemimpinan yang tidak sesuai dengan spirit Islam itu sendiri,
seperti model masyayikh tradisonal, secara otomatis membuka peluang bagi para
aktivis harokah untuk mengkultuskan pemimpin, jama’ah dan partai mereka. Pada
waktu yang sama tidak akan pernah membuka peluang lahirnya kepemimpinan yang
lebih baik dan lebih berkualitas dari sebelumnya.
C. Ta’sh-shub jama’i, qiyadi dan Hizbi (Fanatink pada jama’ah.
Pemimpin dan partai).
Ta’sh-shub tersebut menjadi ancaman serius bagi
Gerakan Dakwah. Sebab, secara syar’i, ta’ash-shub adalah perbuatan jahiliyah
yang sangat dibenci. Secara fakta di lapangan, ta’ash-shub pada ketiga hal
tersebut juga telah melahirkan persaingan dan perpecahan di kalngan umat,
khususnya di kalangan antar aktivis Gerakan Dakwah yang berbeda nama dan
payung. Dengan demikian, Gerakan Dakwah akan kehilangan banyak peluang Dakwah
dan interaksi dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk antar sesama aktivis
Gerakan Dakwah yang berbeda nama dan warna. Ini juga merupakan salah satu
penyebab yang memperlambat perkembangan dan pertumbuhan Gerakan Dakwah itu
sendiri.
D. Keenggenan menjadi al-‘unshur
al-jaami’, ( faktor perekat) bagi kalangan Gerakan Dakwah lainnya,
juga bagi umat Islam secara luas, dan bahkan ironisnya dalam kalangan jamaah
sendiri. Di antara penyebabnya ialah suburnya penyakit ta’ash-shub jama’i,
qiyadi dan hizbi (fanatik buta terhadap jama’ah, pemimpin dan partai) serta
pemikiran pemikiran masing-masing Gerakan Dakwah, seperti yang disebutkan pada
poin 3 di atas. Bahkan terkadang lahir sebuah pendapat dan sikap yang keliru
seperti “right or wrong is my jama’ah, may leader and my party”. Ironisnya,
dalam lapangan politik praktis seringkali berkoalisi dengan tokoh, atau partai
atau kelompok yang nyata-nyata musuh Islam atau paling tidak tidak menyukai
tegaknya Islam sebagai the way of life di negeri mereka tinggal.
E. Kelemahan mawarid basyariyyah (sumber daya manusia) dalam
berbagai bidang ilmu.Kelemahan SDM tersebut mengakibatkan terjadinya kelemahan ruhiyah (mental) dan uswah (keteladanan) sebagai syarat mutlak menjadi khoiru ummatin ukhrijat linnas (umat terbaik dan berkualitas tinggi yang tampil di tengah-tengah manusia) dalam mengemban missi khalifatullah yang akan memakmurkan kehidupan umat manusia di atas muka bumi melalui nilai-nilai Islam yang amat adil danmanusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar