Senin, 12 Januari 2015

TANTANGAN DALAM DAKWAH



TANTANGAN DALAM DAKWAH
A. Kejumudan (kebekuan) berfiikir.
Hampir semua Gerakan Dakwah mengalami kejumudan sehingga terhentinya pembaruan kendati sudah melewati perjalanannya berpuluh-puluh tahun. Keberanian dan kemauan melakukan tajdid al-manhaj al-haroki al-fikri (pembaruan konsep pemikiran harokah) dan al-manhaj al-haroki al-‘amali (konsep aktivitas harokah), hampir tidak ada, khususnya terkait dengan masalah-masalah ijtihadiyah para pendirinya sejak puluhan tahun yang lalu. Akibatnya, Gerakan Dakwah tidak bisa menampung al-‘uqul al-kabiroh (pemikiran-pemikiran besar) – meminjam Istilah Dr. Yususf Al-Qardhawi – yang datang dari para aktivisnya sendiri, apalagi dari luar. Tajdid tersebut amat diperlukan agar terjadi proses penyempurnaan dan akselarasi dengan perkembangan dan kebutuhan dakwah masa kini. Tajdid juga berfungsi melurusakn penyimpangan amaliyah maidaniyah, khususnya bila memasuki lapangan politik praktis. Di samping itu, tajdid melahirkan pemikiran-pemikiran, konsep-konsep dan rumusan-rumusan baru yang kontekstual, moderen dan futuristik, namun tetap komitmen dengan asholah (orisinilitas)-nya. Di samping itu, tidak ada keberanian merumuskan dan mendesain ulang format, strategi, perencanaan, program dan target-target Gerakan Dakwah masa kini untuk menjawab berbagai tantangan zaman, sehingga Gerakan Dakwah mampu menjelaskan nilai-nilai Islam dalam bentuk amal, alternatif dan keteladanan. Akhirnya, yang menonjol di lapangan adalah seruan-seruan moral dan penjelasan-penjelasan nilai yang sifatnya baku dan berulang-ulang.
B. Model dan dan gaya kepemimpinan.
Rata-rata dalam parkateknya, model kepemimpinan Gerakan Dakwah adalah model masyayikh (kekiayan tradisionil), kendati dalam konsep dan teorinya meniru gaya kepemimpinan Rasulullah dan para Sahabat. Model kepemimpinan masyayikh tradisionil itu di antara cirinya ialah tidak ada yang berani mengkritik dan memprotes keputusan atau keinginan sang pemimpin, kendati nyata-nyata berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Akhirnya, pemimpin diposisikan pada posisi yang berlebihan, dan bahkan kadangkala melebihi Nabi, atau di Indonesia dikenal dengan wali. Kurangnya keberanian dan kemauan membenahi model dan gaya kepemimpinan yang tidak sesuai dengan spirit Islam itu sendiri, seperti model masyayikh tradisonal, secara otomatis membuka peluang bagi para aktivis harokah untuk mengkultuskan pemimpin, jama’ah dan partai mereka. Pada waktu yang sama tidak akan pernah membuka peluang lahirnya kepemimpinan yang lebih baik dan lebih berkualitas dari sebelumnya.
C. Ta’sh-shub jama’i, qiyadi dan Hizbi (Fanatink pada jama’ah. Pemimpin dan partai).
Ta’sh-shub tersebut menjadi ancaman serius bagi Gerakan Dakwah. Sebab, secara syar’i, ta’ash-shub adalah perbuatan jahiliyah yang sangat dibenci. Secara fakta di lapangan, ta’ash-shub pada ketiga hal tersebut juga telah melahirkan persaingan dan perpecahan di kalngan umat, khususnya di kalangan antar aktivis Gerakan Dakwah yang berbeda nama dan payung. Dengan demikian, Gerakan Dakwah akan kehilangan banyak peluang Dakwah dan interaksi dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk antar sesama aktivis Gerakan Dakwah yang berbeda nama dan warna. Ini juga merupakan salah satu penyebab yang memperlambat perkembangan dan pertumbuhan Gerakan Dakwah itu sendiri.
D. Keenggenan menjadi al-‘unshur al-jaami’, ( faktor perekat) bagi kalangan Gerakan Dakwah lainnya, juga bagi umat Islam secara luas, dan bahkan ironisnya dalam kalangan jamaah sendiri. Di antara penyebabnya ialah suburnya penyakit ta’ash-shub jama’i, qiyadi dan hizbi (fanatik buta terhadap jama’ah, pemimpin dan partai) serta pemikiran pemikiran masing-masing Gerakan Dakwah, seperti yang disebutkan pada poin 3 di atas. Bahkan terkadang lahir sebuah pendapat dan sikap yang keliru seperti “right or wrong is my jama’ah, may leader and my party”. Ironisnya, dalam lapangan politik praktis seringkali berkoalisi dengan tokoh, atau partai atau kelompok yang nyata-nyata musuh Islam atau paling tidak tidak menyukai tegaknya Islam sebagai the way of life di negeri mereka tinggal.
E. Kelemahan mawarid basyariyyah (sumber daya manusia) dalam berbagai bidang ilmu.
Kelemahan SDM tersebut mengakibatkan terjadinya kelemahan ruhiyah (mental) dan uswah (keteladanan) sebagai syarat mutlak menjadi khoiru ummatin ukhrijat linnas (umat terbaik dan berkualitas tinggi yang tampil di tengah-tengah manusia) dalam mengemban missi khalifatullah yang akan memakmurkan kehidupan umat manusia di atas muka bumi melalui nilai-nilai Islam yang amat adil danmanusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar