Pendahuluan
Latar belkang
Prof. Dr. Amin Abdullah adalah
seorang pemikir islam di Indonesia. Pada
awalnya dia adalah seorang santri yang kehidupannya penuh dengan hal yang
konservatif. Bahkan sistim pembelajaran pesantren di indonesia saat ini, adalah
pembelajaran yang lebih menekankan pada sisitem hafalan dan bukan pada sstem
pemikiran. Akan tetapi seorang Amin Abdullah kini telah menjadi seorang
pemikir, bahkan sekarang banyak orang menyebutnya sebagai filsuf Indonesia. Pemikiran
Amin Abdulah dikenal dengan pemikiran
yang begitu kontemporer, karena jika dilihat dari berbagai karangan ilmiahnya dia
banyak menyajikan masalah-masalah keknian. Masalah-masalah kekinian yang sering
diangkatnya adalah masalah kalam era post modern, dinamika islam kultural, dan
pemetaan atas wacana keislaman kontemporer.
Pemikiran Amin Abdullah tidak lepas
juga dari masalah peradaban islam. Masalah peradaban islam ini baginya adalah
sesuatu yang sangat penting karena banyak memunculkan berbagai macam ambigu
dari berbagai pihak. Baginya sesuatu yang ambigu haruslah kita tafsirkan lagi,
tentunya dengan menggunakan pemikiran yang sangat mendalam dengan melihat dan
mencermati masalah ini dari berbagai sudut pandang, sebab dengan cara ini
solusi yang akan hadir kepada kita adalah bersifat konfrehensif dan universal. Islam
sangat merindukan solusi yang tepat untuk masalah peradaban ini, sebab sudah
hampi dua abad peradaban kita mengalami suatu kemunduran.
Kemunduran peradaban islam ini
diakibatkan oleh makin berkurangnya pemikir-pemikir islam, selanjutnya adalah terdapat
banyak para fundamentalis yang ada di dalam Islam yang secara inheren telah
melekat didalam tubuh Islam itu sendri. Islam sangatlah memerlukan sebuah upaya
pemikiran demi kelanjutan akan eksistensi agama dalam menghadapi realitas
dunia. Amin Abdullah pernah mengatakan bahwa Islam sekarang harus menerima ilmu
pengetahuan modern dalam rangka menemukan kembali nilai-nilai Islam yang segar
sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini.[1]
Begitulah Amin mengemukakan pendapatnya,
Pembahasan
Biografi
Prof. Dr. Amin Abdullah lahir di
margomulyo, Tayu, Pati, Jawa tengah, 28 Juli 1953. Menamatkah kulliat al
mualllimin islamyah (KMI), pesantren Gontor, Ponorogo1872 dan program sarjana
muda (Bakalaureat) pada Institut pendidikan Darussalam (IPD) 1977 di pesantren
yang sama. Menyelesaikan program sarjana di fakultas Ushuludin, jurusan
Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor
departemen agama dan pemerintah Republik Turki, mulai tahun 1985 mengambil
program Ph. D. Bidang Filsafat Islam. Di departemen of Philoshopy, faculty of
Art and Sciencies, middle East Thecnhical Univercity (METU), Ankara, Turki
1990.
Disertasinya, The Idea Of
Universality Of Ethical Norms In Ghajali And Kant, diterbitkan di Turki
(Antara: Turkiye Diyanet Vafki, 1992. Karya terjemahan yang diterbitkan , Agama
Dan Akal Pemikiran : Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusia, (Jakarta:
Rajawali,1985), dan Pengantar Filsafat Islam : Abad Pertengahan (Jakarta:
Rajawali,1989). Menjadi ketua penghimpunan pelajar Indonesia (PPI), Turki,
1986-1987. Selama libur musim panas ,pernah bekerja Part Timer, di Sekertariat
kantor Haji di Jeddah (1985 dan 1990. Makah 1988, dan Madinah 1989. Kini,
selain dosen fakultas Ushuludin, juga dosen fakultas Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.
Tahun 1993-1996 sebagai asisten
direktur pascasarjana di Institut yang sama, menjabat wakil kepala
lembagaPengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI), Universitas muhamadiyah
Yogyakarta. Dalam organisasi kenasyarakatan , menjadi ketua Divisi Ummat, ICMI,
Organisasi wilayah DIY 1991-1995, dan Anggota pimpinan pusat Muhamadiyah majlis
Tarrjih (1991-1995). Aktif menulis seminar, tulisan-tulisannya dapat dijumpai
di jurnal keilmuan Islam. Antara ULUMUL QURAN, ISLAMIKA, AL JAMI’AH, dan
lain-lain. Seminar internasional diluar negeri yang diikuti antara lain,
Seminar ’’Kependudukan dalan dunia Islam’’, diselenggarakan oleh badan
kependudukan Universitas al-Azhar, di Khairo, Juli 1992. [2]
Membedakan antara wilayah keilmuan dan keagamaan
Dalam
pemikiran Amin Abdullah, hendaklah kita sebagai seorang muslim harus bisa
membedakan mana yang menjadi wacana keagamaan dan mana yang menjadi wacana
keilmuan. Sebagai contoh seorang mahasisiwa yang sedang menjalakan studi di
sebuah Institut agama maka bagi Amin Abdullah
ada dua hal yang menjadi tuntutan bagi mahasisiwa tu.[3]
Tuntutan pertama adalah bagaimana
mahasisiwa itu dapat malakuan suatu penelitian pemikiran demi pengembangan ilmu
pengetahuan keagamaan mereka. Tuntutan
yang kedua adalah bagaimana
mahasisiwa itu dapat mengetahui bagaimana keagamaan mereka sendiri. Tuntutan
yang pertama ini, biasanya kita kenal dengan ilmu-ilmu keislaman. Ilmu-ilmu ini
tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa ada sebuah pengembangan penyatuan dan
penelitian terhadap ilmu-ilmu yang sebelumnya telah ada, sehingga dengan cara
ini kita dapat menemukan suatu kreativitas ilmu agar dapat membuat suatu
disiplin ilmu tersendiri.
Untuk
tuntutan yang kedua ini, Amin memahaminya sebagai kesadaran akan kewajiban
mahasisiwa itu sendiri. Mahasiswa itu harus mengetahui dengan seksama bagaimana
fondasi keagamaan mereka, pengetahuan itu didapat dengan mencari aksioma
pemikiran keagamaan. Aksioma-aksioma keagamaan itu telah ada sebelumnya yaitu
terdapat pada kitab suci dan hadist nabi, hanya saja aksioma-aksioma ini harus
lebih dikembangkan agar dapat memberikan solusi bagi kehidupan kita yang
semakin modern. Tujuan Amin Abdullah memisahkan kedua wilayah ini tidak lain
adalah agar kita umat muslim bisa terhindar dari sikap saling mengkafirkan. Kehidupan
muslim di abad ini kita ketahui bersama bahwa jika terjadi pergeseran akan
makna dan nilai dari keilmuan-keilmuan Islam maka akan segera terjadi pula proses
kafir-mengkafirkan.
Amin Abdullah menyatakan bahwa sifat dasar dari
keilmuan itu adalah sejauh mana ilmu itu dapat bertahan dari berbagai macam
kritikan. Inilah yang menjadi permasalahannya sekarang, ketika ada kritikan
yang dilontarkan pada satu disiplin ilmu maka reaksi dari semua itu adalah
kafir. Ketika Muhammad Shyahrur mengkritik bagunan fiqhi oleh ulama salaf maka
Syahrur dianggap telah berpaling dari agama, dan ketika Abu Zayd menyatakan
kritik terhadap wacana yang menjadi interpretasi keagamaan maka Abu Zayd juga
dikatakan salah seorang kafir.
Dalam sejarah pemikiran Islam, pada
umumnya memang belum mengalami apa yang dinamakan sebagai proses aufklarung atau renaciens, bahkan pemikiran
Islam belum melampaui tahapan kritik epistimologi yag cukup mendasar.[4]
Hal ini terjadi oleh karena keberadaan kaum yang begitu fundamentalis dan super
ortodks, mereka tidak mau menerima suatu pemikiran kritis yang dapat
menghancurkan dan merobohkan bangunan ortodoks mereka. Akibatnya banyak muslim
kontemporer yang tidak bisa lagi membedakan antara wilayah keilmuan dan
keagamaan, bahkan lebih parah lagi ada yang telah mensakralkan suatu teologi
klasik sehingga terjadi proses ‘’takdis’’ yang tidak disadari oleh mereka. Pemahaman
terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku berasal
dari pemahaman wahyu dan kitab secara tekstual atau skriptual. Tujuan dari ini
semua adalah bagaimana kita mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan
dengan studi-studi agama yang kompeten.
Berbicara mengenai realitas
keagamaan, sesuatu yang harus dibutuhkan oleh seoarang ilmuan atau ulama adalah
bagaimana kita bisa berfikir objektif-rasional, karena bagi Amin Abdullah hanya
dengan cara ini seseorang dapat melakukan pengembangan keilmuan. Tanpa metode
seperti ini realitas zaman dulu hanya akan berulang kembali dan tak akan ada
yang namanya suatu pengembangan.[5] Inilah
reealitas yang terjadi pada kalangan ortodoks, realitas yang hanya terulang
kembali dimana realitas itu sudah ada pada generasi kita terdahulu, hal ini seakan-akan
telah membuat kreativitas kaum muslim lenyap dan hilang ditelan waktu.
Sedangkan disisi lain, zaman selalu menuntut kita agar dapat terus berkreasi
dengan pemikiran-pemikiran yang inovatif dan membangun. Khazannah keilmuan
Islam nampaknya telah mengalami suatu keracunan berfikir yang amat kuat. Umat
muslim sekarang telah diracuni oleh suatu dogma teologis yang begitu menakutkan,
sampai-sampai hal itu membuat kita seperti kehilangan akal utuk berfikir.
Derivasi dari keracunan seperti ini akan membuat kaburnya nilai agama itu
sendiri, dimana esensi dari agama adalah sebagai ekspresi religiusitas, dimana
makna kemanusiaan menjadi inti agama itu sendiri kini berubah menjadi sumber
konflik atas nama tuhan.
Pendekatan teologis normatif dan pendekatan historis
empiris
Bagi Amin Abdullah, ada dua pendekatan yang perlu
dilakukan demi mendapatkan solusi mengenai masalah-masalah keagamaan manusia.
Dua pendekatan ini saling berkaitan satu sama lain, dimana bagi Amin Abdullah
jika hilang salah satunya maka tidak akan berfungsi keduanya. Pendekatan yang
dia maksud adalah pertama pendekatan normatif teologis dan yang kedua adalah
pendekatan historis empiris. Pendekatan yang pertama adalah bagaimana kita melihat masalah keagamaan manusia dari
sudut pandang norma-norma wahyu yang ada dalam agama itu sendiri, sedang pada
pendekatan yang kedua adalah bagaimana kita memandang masalah tersebut dari
historikal kemanusiaan itu sendiri.
Teologis
normatif
Sebenarya jika dilihat secara
sepintas bahwa norma ajaran-ajaran Islam teletak pada dimensi normativitas-etika
agama yang bersifat mengatur dan mengikat. Menurut para ulama kita bahwa aspek
normativitas ini terasa lebih ditekankan pada aspek ibadah mahdah, sehingga
pendekatan yang pertama ini banyak memunculkan tradisi keilmuan Islam yang
berasal dari al-quran dan hadis nabi. Ilmu-ilmu seperti ini contohnya adalah
ilmu fiqhi,tasawwuf, dan kalam. Bahkan ketika para pemikir-pemikir Islam pada
abad pertengahan mulai membicarakan keilmuan filsafat maka semua itu selalu
ditarik pada aspek normativitas teologis, dalam artian bahwa tujan dari
mempelajari filsafat pada waktu itu adalah semata-mata untuk masalah teologis,
seperti yang dikatakan oleh Syed Hosaen Nasr. Hal ini terbukti ketika pada masa
al-kindi, Farabi, bahkan sampai sekarang filsafat Islam selalu berbicara tentang
Mantiq, Tabi’iyyat dan Ilahiyyat.[6]
Sebenarnya pendekatan teologis
normatif ini juga sangatlah berguna bagi kita, dimana kita akan lebih
memaksimalkan guna wahyu dan hadist itu dengan penafisran kita mengenai masalah
yang ada. Jadi ibaratnya ketika ada masalah-masalah kemanusiaan maka yang akan
berbicara adalah wahyu dan hadist itu sendiri, sehingga apa yang kita lakukan
adalah selalu berdasar pada normativitas keduanya. Kini normativitas kedua
komponen ini ada dalam bidang ilmu-ilmu keislaman kita seperti fiqhi,tasawwuf,
dan kalam
Banyak orang menganggap bahwa ketiga
disiplin ilmu ini adalah khazanah keilmuan Islam yang tidak dapat dipisahkan
dari wahyu dan hadist. Inilah kegunaan normativitas wahyu bagi Amin Abdullah,
ketika disiplin ilmu ini tidak dibalut dengan pengetahuan akan wahyu dan
hadist, maka ilmu yang akan lahir adalah ilmu-ilmu yang bersifat sekuler. Amin
Abdullah adalah seorang tokoh pemikir Islam yang kontemporer, akan tetapi Amin
Abdullah tidak mau meninggalkan pendekatan yang pertama ini, justru dia selalu
menggunakan pendekatan ini dalam menanggapi masalah-masalah kekinian.
Dalam menghadapi masalah kekinian
maka kiranya kita jangan asal menetapkan solusiya, akan tetapi kita harus tetap
merujuk dan berpijak pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Hal ini seperti yang
ditegaskan dalam al-quran bahwasanya:
‘’ Apabila dikatakan kepada mereka: marilah
mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul’’. Mereka mengatakan:
‘’cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’’.
Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereke itu’ tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk’’.[7]
Dengan prinsip dan norma agama ini,
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, dalam dunia ini masalah apapun yang
sedang kita hadapi maka hendaklah kita selalu merujuk pada al-quran yang
diturunkan Allah dan sunah Rasul-nya yang telah ditunjukan kepada kita umatnya.
Kita dapat memperhatikan perkataann Rasulullah saw dalam hadist berikut:
‘’kutinggalkan untuk kamu dua pusaka (perkara),
tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selagi kamu masih berpegang teguh
pada keduanya, yaitu Al-quran dan sunah Rasulnya’’.
Bagi
penilaian Amin Abdullah bahwa dengan prinsip beragama yang berdasar wahyu ini
selalu diperagakan oleh umat muslim pada kurun waktu pertama yaitu pada masa
nabi Muhammad saw yang pada saat itu berhasil menegakkan pemahaman,
penghayatan, dan pengalaman Islam yang segar, sehingga pada waktu itu, mereka menjadi
khairu ummah.[8]
Historis-empiris
Peetanyaan mendasar yang harus dijawab oleh umat
muslim kontemporer adalah, mengapa setelah wafatnya Rasullulah saw khazanah
keilmuan Islam dan bahkan peradabannya meningkat dengan pesat akan tetapi
setelah abad ke tiga belas peradaban Islam mulai mudur dan bahkan terbelakang
oleh adanya peradaban barat yang begitu superpower seperti sekarang ini. Banyak
orang berpendapat bahwa tasawwuf dan para suffisme adalah penyebab kemunduran
peradaban Islam ini. Ajaran tasawwuf lebih menekankan pada sikap asketisme dan
meninggalkan sedikit urusan-urusan keduniaan, seperti apa yang kita lihat dalam
praktik kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini juga dikemukakan oleh Harun
Nasution dalam bukunya bahwa’’hampir seluruh aliran modern dalam Islam terkesan
lebih mengambil sikap kehati-hatian pada para suffisme’’.[9]
Dalam permasalahan ini Amin Abdullah
mengemukakan solusinya dengan begitu lugas. Agar peradaban Islam kembali maju
maka dalam sistem pemahaman dan pemikiran Islam kita harus menempatkan metode
historis-empiris dalam fenomena keagamaan kita. Maka pertanyaan yang akan
timbul selanjutnya adalah, apakah Islam dapat ditelaah secara ilmiah ataukah
tidak. Kita ketahui bersama bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari banyak
sekali kita temukan permasalahan-permasalahan dibidang ekonomi, sosial,
politik, budaya dan lain sebagainya, selanjutnya adalah bidang-bidang ini yang
membuat suatu peradaban maju dan berkembang. Para kaum ortodoks Islam merasa
bahwa bidang keeilmuan diatas dapat menggeser normativitas keagamaan kita
sebagai umat muslim.
Dalam peradaban muslim modern di
abad 18-19 mulai muncul pendekatan ilmu-ilmu sosial dan kesejarahan.[10] Tren
pemikiran ini adalah mulai menganalisa masalah-masalah pemikiran keagamaan yang
telah ada sebelumnya. Bahkan dalam perkembangannya pendekatan historikal ini
melahiran studi-studi empiris seperti Antropologi agama, Sosiologi agama,
Psikologi agama, dan fenomena keberagaman. Tujuan dari pendekatan historis ini
adalah semata-mata untuk membuat umat muslim sekarang agar lebih kritis dalam
wacana-wacana keeagamaan, karena bagaimanapun juga wacana mengenai pemahaman
keagamaan adalah hasil pemikiran manusia dan tidak menutup kemungkinan bagi
kita untuk melakukan kritik terhadapnya.
Dalam kajian Islam historis, tidak
ada satu ketetapan atau hukum yang bersifat tetap, kecuali ketetapan yang telah
diturunkan allah swt. Hukum Islam khususnya wacana-wacana fiqhi merupakan hasil
produk pemikiran manusia, pemikiran itu menurut Amin Abdullah berdasarkan aspek
historis dari kehidupan pemikir pada kala itu, sehingga hal itu mempengaruhi
pemikiranya pula. Ketika hukum-hukum itu berhadapan dengan masalah kita
sekarang yang ada dizaman modern ini, maka kadang kala hukum-hukum itu membuat
kita terikat da kaku. Hal in disebabkan oleh hukum-hkum tersebut tidak sesuai
dengan sejarah kehidupan kita sekarang.
Islam historis merupakan unsur
kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran dan interpretasi mengenai teks
dari manusia itu sendiri. Dengan adanya masalah kita yang semakin kompleks,
maka tidak ada salahnya bagi kita untuk menghasilkan pemikiran kita berdasarkan
pada sejarah kehidupan kita sendiri. Sejarah atau historis adalah ilmu yang
melihat dan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan
pelaku dari peristiwa itu. Melalui pendekatan sejarah kiraya seseorang dapat
diajak untuk menukik dari idealis ke alam yang bersifat empiris, dan ketika
semua itu tejadi maka Islam akan nampak sebagai suatu pegetahuan atau (Islamic
Studdy).
Suatu hal yang harus kita ketahui
bersama bahwa, agama khususnya Islam adalah agama yang turun dengan situasi
yang konkret atau real. Agama Islam dalam perjalanannya adalah agama yang
sangat sedikit mendapatkan mu’zizat seperti apa yang dikatakan oleh Karen
Armstrong. Agama Islam adalah agama yang berkembang dengan realistis tanpa ada
campur angan tuhan secara angsung didalamnya, sehingga agama Islam dapat
menerima berbagai macam budaya dan pemikiran dari luar dirinya. Contohnya
adalah bagaimana al-Kindi berusaha menggabungkan pemikirran Islam dengan
pemikiran Plato dan bagaimana Ibnu Rusyd mencoba untuk dialektis terhadap
pemikiran Ariestoteles. Hanya saja dalam perjalanannya,pemikiran Islam seperti
ini banyak di tentang oleh para dogmatis, dan fundamentalis, namun bagi Amin
Abdullah ini hanyalah sikap berlebihan dari para ortodoks itu.
Kesimpulan
Dalam memajukan peadaban Islam, maka
hendaknya harus ada dua pendekatan yang harus kita lakukan. Pendekatan pertama
adalah metode normativitas dan pendekatan kedua adalah metode historitas.
Keduanya saling mengisi satu sama lain, jika kita menghilangkan salah satunya
maka keduanya tidak akan berfungsi. Hal ini di ibaratkan sebagai sebuah koin
logam yang mempunyai dua buah sisi, dimana sisi yang satunya menandakan sisi
yang lainnya. Keduanya tidak saling berhadapan, akan tetapi mereka saling
menganyam membentuk sebuah pola dalam gulungan tikar. Meskipun keduanya
berjalan lurus akan tetapi keduanya bisa dibedakan karena tiap metode ini
berbeda dalam struktur kerjanya tapi sama dalam tujuannya, sehingga keberadaan
keduanya sangat diperlukan.
Islam nomatif lebih menekankan pada
ajaran wahyu dan hadist dalam melihat permasalahan yang ada. Sehingga dalam
hakikatnya kita akan terus berada dalam koridor agama yang kita yakini, Tidak
melenceng dan bergeser dari prinsip-prinsip keagamaan. Sedangkan Islam historis
lebih menekankan pada aspek sejarah kehidupan seseorang yang sedang menjalani
atau berhadapan dengan suatu masalah. Bagi metode yang kedua ini segala sesuatu
akan lebih efektif dan kompehensif jika dilihat dari sudut pandang kesejarahan.
Seorang yang menggunakan metode ini maka
terlebih dahulu akan melihat sejarah historikal yang berkaitan dengan tempat,
waktu, perilaku, dan latar belakang seseorang
Kedua metode inilah yang kiranya
dapat menjadi soslusi bagi fenomena keberagaman sekarang ini. Harapan dari kedua
metde ini adalah bagaimana kita dapat memecahkan masalah dengan pemikiran kita
sendiri tanpa harus terikat dengan dogmatis fundamentalis yang tentunya tetap
berada dalam koridor agama sesuai dengan ajaran al-quran dan hadist nabi
Muhammad saw. Dengan tetap menjalankan ajaran-ajaran agama dengan benar disisi
lain kita juga dapat memecahkan masalah kekinian dengan disiplin ilmu yang
modern tentunya. Inilah yang selalu diharapkan umat muslim sekarang demi
keberlangsungan dan kemajuan peradaban Islam dalam persaingan realitas dunia
yang semakin kompleks.
Daftar Pustaka
1. Al-quranul
al-Karim
2. Abdullah,
Amin, 2009, Falsafah Kalam Era
Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
3. Nasution,
Harun, 1975, Pembaharua Dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang
[1]
Amin Abdullah, Falsafah Kalam Era Postmodernisme, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2009), hal. 4
[2]
Ibid., hal. 295-296
[4]
M. Arkound, Tarikhiyyatu al-Fikri
al-Arabi al-Islamiyah (Markaz al-Inma al-Qaumi: Beirut 1986), hal. 295, dalam Amin Abdullah, Filsafat
kalam Era postmodernisme, hal. 55
[5]
Fazlu Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, (The Univercity of Chicago Press. Chicago, 1982), hal. 38, dalam Amin Abdullah, Filsafat kalam Era
Postmodernisme, hal. 25
[7]
A-quran, Al-maidah, 104
[9]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Bulan Bintang, 1975),
hal. 212.
[10]
Hasan Hanafi, Dirasat Falsafiah, (Khairo: Makhtab al-Misriyyah,1987), hal. 130,
dalam Amin Abdullah, Filsafat Era Postmodernisme, hal. 32