Senin, 17 November 2014

amin abdullah


Pendahuluan

Latar belkang

            Prof. Dr. Amin Abdullah adalah seorang pemikir islam di Indonesia.  Pada awalnya dia adalah seorang santri yang kehidupannya penuh dengan hal yang konservatif. Bahkan sistim pembelajaran pesantren di indonesia saat ini, adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada sisitem hafalan dan bukan pada sstem pemikiran. Akan tetapi seorang Amin Abdullah kini telah menjadi seorang pemikir, bahkan sekarang banyak orang menyebutnya sebagai filsuf Indonesia. Pemikiran Amin Abdulah  dikenal dengan pemikiran yang begitu kontemporer, karena jika dilihat dari berbagai karangan ilmiahnya dia banyak menyajikan masalah-masalah keknian. Masalah-masalah kekinian yang sering diangkatnya adalah masalah kalam era post modern, dinamika islam kultural, dan pemetaan atas wacana keislaman kontemporer.

            Pemikiran Amin Abdullah tidak lepas juga dari masalah peradaban islam. Masalah peradaban islam ini baginya adalah sesuatu yang sangat penting karena banyak memunculkan berbagai macam ambigu dari berbagai pihak. Baginya sesuatu yang ambigu haruslah kita tafsirkan lagi, tentunya dengan menggunakan pemikiran yang sangat mendalam dengan melihat dan mencermati masalah ini dari berbagai sudut pandang, sebab dengan cara ini solusi yang akan hadir kepada kita adalah bersifat konfrehensif dan universal. Islam sangat merindukan solusi yang tepat untuk masalah peradaban ini, sebab sudah hampi dua abad peradaban kita mengalami suatu kemunduran.

            Kemunduran peradaban islam ini diakibatkan oleh makin berkurangnya pemikir-pemikir islam, selanjutnya adalah terdapat banyak para fundamentalis yang ada di dalam Islam yang secara inheren telah melekat didalam tubuh Islam itu sendri. Islam sangatlah memerlukan sebuah upaya pemikiran demi kelanjutan akan eksistensi agama dalam menghadapi realitas dunia. Amin Abdullah pernah mengatakan bahwa Islam sekarang harus menerima ilmu pengetahuan modern dalam rangka menemukan kembali nilai-nilai Islam yang segar sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini.[1] Begitulah Amin mengemukakan pendapatnya,    
Pembahasan

Biografi
            Prof. Dr. Amin Abdullah lahir di margomulyo, Tayu, Pati, Jawa tengah, 28 Juli 1953. Menamatkah kulliat al mualllimin islamyah (KMI), pesantren Gontor, Ponorogo1872 dan program sarjana muda (Bakalaureat) pada Institut pendidikan Darussalam (IPD) 1977 di pesantren yang sama. Menyelesaikan program sarjana di fakultas Ushuludin, jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor departemen agama dan pemerintah Republik Turki, mulai tahun 1985 mengambil program Ph. D. Bidang Filsafat Islam. Di departemen of Philoshopy, faculty of Art and Sciencies, middle East Thecnhical Univercity (METU), Ankara, Turki 1990.

            Disertasinya, The Idea Of Universality Of Ethical Norms In Ghajali And Kant, diterbitkan di Turki (Antara: Turkiye Diyanet Vafki, 1992. Karya terjemahan yang diterbitkan , Agama Dan Akal Pemikiran : Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusia, (Jakarta: Rajawali,1985), dan Pengantar Filsafat Islam : Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali,1989). Menjadi ketua penghimpunan pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987. Selama libur musim panas ,pernah bekerja Part Timer, di Sekertariat kantor Haji di Jeddah (1985 dan 1990. Makah 1988, dan Madinah 1989. Kini, selain dosen fakultas Ushuludin, juga dosen fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

            Tahun 1993-1996 sebagai asisten direktur pascasarjana di Institut yang sama, menjabat wakil kepala lembagaPengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI), Universitas muhamadiyah Yogyakarta. Dalam organisasi kenasyarakatan , menjadi ketua Divisi Ummat, ICMI, Organisasi wilayah DIY 1991-1995, dan Anggota pimpinan pusat Muhamadiyah majlis Tarrjih (1991-1995). Aktif menulis seminar, tulisan-tulisannya dapat dijumpai di jurnal keilmuan Islam. Antara ULUMUL QURAN, ISLAMIKA, AL JAMI’AH, dan lain-lain. Seminar internasional diluar negeri yang diikuti antara lain, Seminar ’’Kependudukan dalan dunia Islam’’, diselenggarakan oleh badan kependudukan Universitas al-Azhar, di Khairo, Juli 1992. [2]        
           

Membedakan antara wilayah keilmuan dan keagamaan
             
Dalam pemikiran Amin Abdullah, hendaklah kita sebagai seorang muslim harus bisa membedakan mana yang menjadi wacana keagamaan dan mana yang menjadi wacana keilmuan. Sebagai contoh seorang mahasisiwa yang sedang menjalakan studi di sebuah Institut agama maka bagi Amin Abdullah  ada dua hal yang menjadi tuntutan bagi mahasisiwa tu.[3] Tuntutan pertama adalah bagaimana mahasisiwa itu dapat malakuan suatu penelitian pemikiran demi pengembangan ilmu pengetahuan  keagamaan mereka. Tuntutan yang kedua adalah bagaimana mahasisiwa itu dapat mengetahui bagaimana keagamaan mereka sendiri. Tuntutan yang pertama ini, biasanya kita kenal dengan ilmu-ilmu keislaman. Ilmu-ilmu ini tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa ada sebuah pengembangan penyatuan dan penelitian terhadap ilmu-ilmu yang sebelumnya telah ada, sehingga dengan cara ini kita dapat menemukan suatu kreativitas ilmu agar dapat membuat suatu disiplin ilmu tersendiri.

Untuk tuntutan yang kedua ini, Amin memahaminya sebagai kesadaran akan kewajiban mahasisiwa itu sendiri. Mahasiswa itu harus mengetahui dengan seksama bagaimana fondasi keagamaan mereka, pengetahuan itu didapat dengan mencari aksioma pemikiran keagamaan. Aksioma-aksioma keagamaan itu telah ada sebelumnya yaitu terdapat pada kitab suci dan hadist nabi, hanya saja aksioma-aksioma ini harus lebih dikembangkan agar dapat memberikan solusi bagi kehidupan kita yang semakin modern. Tujuan Amin Abdullah memisahkan kedua wilayah ini tidak lain adalah agar kita umat muslim bisa terhindar dari sikap saling mengkafirkan. Kehidupan muslim di abad ini kita ketahui bersama bahwa jika terjadi pergeseran akan makna dan nilai dari keilmuan-keilmuan Islam maka akan segera terjadi pula proses kafir-mengkafirkan.
       
             Amin Abdullah menyatakan bahwa sifat dasar dari keilmuan itu adalah sejauh mana ilmu itu dapat bertahan dari berbagai macam kritikan. Inilah yang menjadi permasalahannya sekarang, ketika ada kritikan yang dilontarkan pada satu disiplin ilmu maka reaksi dari semua itu adalah kafir. Ketika Muhammad Shyahrur mengkritik bagunan fiqhi oleh ulama salaf maka Syahrur dianggap telah berpaling dari agama, dan ketika Abu Zayd menyatakan kritik terhadap wacana yang menjadi interpretasi keagamaan maka Abu Zayd juga dikatakan salah seorang kafir.    

            Dalam sejarah pemikiran Islam, pada umumnya memang belum mengalami apa yang dinamakan sebagai proses aufklarung atau  renaciens, bahkan pemikiran Islam belum melampaui tahapan kritik epistimologi yag cukup mendasar.[4] Hal ini terjadi oleh karena keberadaan kaum yang begitu fundamentalis dan super ortodks, mereka tidak mau menerima suatu pemikiran kritis yang dapat menghancurkan dan merobohkan bangunan ortodoks mereka. Akibatnya banyak muslim kontemporer yang tidak bisa lagi membedakan antara wilayah keilmuan dan keagamaan, bahkan lebih parah lagi ada yang telah mensakralkan suatu teologi klasik sehingga terjadi proses ‘’takdis’’ yang tidak disadari oleh mereka. Pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku berasal dari pemahaman wahyu dan kitab secara tekstual atau skriptual. Tujuan dari ini semua adalah bagaimana kita mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan dengan studi-studi agama yang kompeten.

            Berbicara mengenai realitas keagamaan, sesuatu yang harus dibutuhkan oleh seoarang ilmuan atau ulama adalah bagaimana kita bisa berfikir objektif-rasional, karena bagi Amin Abdullah hanya dengan cara ini seseorang dapat melakukan pengembangan keilmuan. Tanpa metode seperti ini realitas zaman dulu hanya akan berulang kembali dan tak akan ada yang namanya suatu pengembangan.[5] Inilah reealitas yang terjadi pada kalangan ortodoks, realitas yang hanya terulang kembali dimana realitas itu sudah ada pada generasi kita terdahulu, hal ini seakan-akan telah membuat kreativitas kaum muslim lenyap dan hilang ditelan waktu. Sedangkan disisi lain, zaman selalu menuntut kita agar dapat terus berkreasi dengan pemikiran-pemikiran yang inovatif dan membangun. Khazannah keilmuan Islam nampaknya telah mengalami suatu keracunan berfikir yang amat kuat. Umat muslim sekarang telah diracuni oleh suatu dogma teologis yang begitu menakutkan, sampai-sampai hal itu membuat kita seperti kehilangan akal utuk berfikir. Derivasi dari keracunan seperti ini akan membuat kaburnya nilai agama itu sendiri, dimana esensi dari agama adalah sebagai ekspresi religiusitas, dimana makna kemanusiaan menjadi inti agama itu sendiri kini berubah menjadi sumber konflik atas nama tuhan.        

Pendekatan teologis normatif dan pendekatan historis empiris  

            Bagi Amin Abdullah, ada dua pendekatan yang perlu dilakukan demi mendapatkan solusi mengenai masalah-masalah keagamaan manusia. Dua pendekatan ini saling berkaitan satu sama lain, dimana bagi Amin Abdullah jika hilang salah satunya maka tidak akan berfungsi keduanya. Pendekatan yang dia maksud adalah pertama pendekatan normatif teologis dan yang kedua adalah pendekatan historis empiris. Pendekatan yang pertama adalah bagaimana  kita melihat masalah keagamaan manusia dari sudut pandang norma-norma wahyu yang ada dalam agama itu sendiri, sedang pada pendekatan yang kedua adalah bagaimana kita memandang masalah tersebut dari historikal kemanusiaan itu sendiri.  

            Teologis normatif

            Sebenarya jika dilihat secara sepintas bahwa norma ajaran-ajaran Islam teletak pada dimensi normativitas-etika agama yang bersifat mengatur dan mengikat. Menurut para ulama kita bahwa aspek normativitas ini terasa lebih ditekankan pada aspek ibadah mahdah, sehingga pendekatan yang pertama ini banyak memunculkan tradisi keilmuan Islam yang berasal dari al-quran dan hadis nabi. Ilmu-ilmu seperti ini contohnya adalah ilmu fiqhi,tasawwuf, dan kalam. Bahkan ketika para pemikir-pemikir Islam pada abad pertengahan mulai membicarakan keilmuan filsafat maka semua itu selalu ditarik pada aspek normativitas teologis, dalam artian bahwa tujan dari mempelajari filsafat pada waktu itu adalah semata-mata untuk masalah teologis, seperti yang dikatakan oleh Syed Hosaen Nasr. Hal ini terbukti ketika pada masa al-kindi, Farabi, bahkan sampai sekarang filsafat Islam selalu berbicara tentang Mantiq, Tabi’iyyat dan Ilahiyyat.[6]
     
            Sebenarnya pendekatan teologis normatif ini juga sangatlah berguna bagi kita, dimana kita akan lebih memaksimalkan guna wahyu dan hadist itu dengan penafisran kita mengenai masalah yang ada. Jadi ibaratnya ketika ada masalah-masalah kemanusiaan maka yang akan berbicara adalah wahyu dan hadist itu sendiri, sehingga apa yang kita lakukan adalah selalu berdasar pada normativitas keduanya. Kini normativitas kedua komponen ini ada dalam bidang ilmu-ilmu keislaman kita seperti fiqhi,tasawwuf, dan kalam      
            Banyak orang menganggap bahwa ketiga disiplin ilmu ini adalah khazanah keilmuan Islam yang tidak dapat dipisahkan dari wahyu dan hadist. Inilah kegunaan normativitas wahyu bagi Amin Abdullah, ketika disiplin ilmu ini tidak dibalut dengan pengetahuan akan wahyu dan hadist, maka ilmu yang akan lahir adalah ilmu-ilmu yang bersifat sekuler. Amin Abdullah adalah seorang tokoh pemikir Islam yang kontemporer, akan tetapi Amin Abdullah tidak mau meninggalkan pendekatan yang pertama ini, justru dia selalu menggunakan pendekatan ini dalam menanggapi masalah-masalah kekinian.

            Dalam menghadapi masalah kekinian maka kiranya kita jangan asal menetapkan solusiya, akan tetapi kita harus tetap merujuk dan berpijak pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam al-quran bahwasanya:
‘’ Apabila dikatakan kepada mereka: marilah mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul’’. Mereka mengatakan: ‘’cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’’. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereke itu’ tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk’’.[7]    

            Dengan prinsip dan norma agama ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, dalam dunia ini masalah apapun yang sedang kita hadapi maka hendaklah kita selalu merujuk pada al-quran yang diturunkan Allah dan sunah Rasul-nya yang telah ditunjukan kepada kita umatnya. Kita dapat memperhatikan perkataann Rasulullah saw dalam hadist berikut:
‘’kutinggalkan untuk kamu dua pusaka (perkara), tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selagi kamu masih berpegang teguh pada keduanya, yaitu Al-quran dan sunah Rasulnya’’.       

            Bagi penilaian Amin Abdullah bahwa dengan prinsip beragama yang berdasar wahyu ini selalu diperagakan oleh umat muslim pada kurun waktu pertama yaitu pada masa nabi Muhammad saw yang pada saat itu berhasil menegakkan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman Islam yang segar, sehingga pada waktu itu, mereka menjadi khairu ummah.[8] 
            Historis-empiris

            Peetanyaan mendasar yang harus dijawab oleh umat muslim kontemporer adalah, mengapa setelah wafatnya Rasullulah saw khazanah keilmuan Islam dan bahkan peradabannya meningkat dengan pesat akan tetapi setelah abad ke tiga belas peradaban Islam mulai mudur dan bahkan terbelakang oleh adanya peradaban barat yang begitu superpower seperti sekarang ini. Banyak orang berpendapat bahwa tasawwuf dan para suffisme adalah penyebab kemunduran peradaban Islam ini. Ajaran tasawwuf lebih menekankan pada sikap asketisme dan meninggalkan sedikit urusan-urusan keduniaan, seperti apa yang kita lihat dalam praktik kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini juga dikemukakan oleh Harun Nasution dalam bukunya bahwa’’hampir seluruh aliran modern dalam Islam terkesan lebih mengambil sikap kehati-hatian pada para suffisme’’.[9]

            Dalam permasalahan ini Amin Abdullah mengemukakan solusinya dengan begitu lugas. Agar peradaban Islam kembali maju maka dalam sistem pemahaman dan pemikiran Islam kita harus menempatkan metode historis-empiris dalam fenomena keagamaan kita. Maka pertanyaan yang akan timbul selanjutnya adalah, apakah Islam dapat ditelaah secara ilmiah ataukah tidak. Kita ketahui bersama bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari banyak sekali kita temukan permasalahan-permasalahan dibidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain sebagainya, selanjutnya adalah bidang-bidang ini yang membuat suatu peradaban maju dan berkembang. Para kaum ortodoks Islam merasa bahwa bidang keeilmuan diatas dapat menggeser normativitas keagamaan kita sebagai umat muslim.

            Dalam peradaban muslim modern di abad 18-19 mulai muncul pendekatan ilmu-ilmu sosial dan kesejarahan.[10] Tren pemikiran ini adalah mulai menganalisa masalah-masalah pemikiran keagamaan yang telah ada sebelumnya. Bahkan dalam perkembangannya pendekatan historikal ini melahiran studi-studi empiris seperti Antropologi agama, Sosiologi agama, Psikologi agama, dan fenomena keberagaman. Tujuan dari pendekatan historis ini adalah semata-mata untuk membuat umat muslim sekarang agar lebih kritis dalam wacana-wacana keeagamaan, karena bagaimanapun juga wacana mengenai pemahaman keagamaan adalah hasil pemikiran manusia dan tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk melakukan kritik terhadapnya.

            Dalam kajian Islam historis, tidak ada satu ketetapan atau hukum yang bersifat tetap, kecuali ketetapan yang telah diturunkan allah swt. Hukum Islam khususnya wacana-wacana fiqhi merupakan hasil produk pemikiran manusia, pemikiran itu menurut Amin Abdullah berdasarkan aspek historis dari kehidupan pemikir pada kala itu, sehingga hal itu mempengaruhi pemikiranya pula. Ketika hukum-hukum itu berhadapan dengan masalah kita sekarang yang ada dizaman modern ini, maka kadang kala hukum-hukum itu membuat kita terikat da kaku. Hal in disebabkan oleh hukum-hkum tersebut tidak sesuai dengan sejarah kehidupan kita sekarang.

            Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran dan interpretasi mengenai teks dari manusia itu sendiri. Dengan adanya masalah kita yang semakin kompleks, maka tidak ada salahnya bagi kita untuk menghasilkan pemikiran kita berdasarkan pada sejarah kehidupan kita sendiri. Sejarah atau historis adalah ilmu yang melihat dan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa itu. Melalui pendekatan sejarah kiraya seseorang dapat diajak untuk menukik dari idealis ke alam yang bersifat empiris, dan ketika semua itu tejadi maka Islam akan nampak sebagai suatu pegetahuan atau (Islamic Studdy).       
                 
            Suatu hal yang harus kita ketahui bersama bahwa, agama khususnya Islam adalah agama yang turun dengan situasi yang konkret atau real. Agama Islam dalam perjalanannya adalah agama yang sangat sedikit mendapatkan mu’zizat seperti apa yang dikatakan oleh Karen Armstrong. Agama Islam adalah agama yang berkembang dengan realistis tanpa ada campur angan tuhan secara angsung didalamnya, sehingga agama Islam dapat menerima berbagai macam budaya dan pemikiran dari luar dirinya. Contohnya adalah bagaimana al-Kindi berusaha menggabungkan pemikirran Islam dengan pemikiran Plato dan bagaimana Ibnu Rusyd mencoba untuk dialektis terhadap pemikiran Ariestoteles. Hanya saja dalam perjalanannya,pemikiran Islam seperti ini banyak di tentang oleh para dogmatis, dan fundamentalis, namun bagi Amin Abdullah ini hanyalah sikap berlebihan dari para ortodoks itu.   

Kesimpulan

            Dalam memajukan peadaban Islam, maka hendaknya harus ada dua pendekatan yang harus kita lakukan. Pendekatan pertama adalah metode normativitas dan pendekatan kedua adalah metode historitas. Keduanya saling mengisi satu sama lain, jika kita menghilangkan salah satunya maka keduanya tidak akan berfungsi. Hal ini di ibaratkan sebagai sebuah koin logam yang mempunyai dua buah sisi, dimana sisi yang satunya menandakan sisi yang lainnya. Keduanya tidak saling berhadapan, akan tetapi mereka saling menganyam membentuk sebuah pola dalam gulungan tikar. Meskipun keduanya berjalan lurus akan tetapi keduanya bisa dibedakan karena tiap metode ini berbeda dalam struktur kerjanya tapi sama dalam tujuannya, sehingga keberadaan keduanya sangat diperlukan.

            Islam nomatif lebih menekankan pada ajaran wahyu dan hadist dalam melihat permasalahan yang ada. Sehingga dalam hakikatnya kita akan terus berada dalam koridor agama yang kita yakini, Tidak melenceng dan bergeser dari prinsip-prinsip keagamaan. Sedangkan Islam historis lebih menekankan pada aspek sejarah kehidupan seseorang yang sedang menjalani atau berhadapan dengan suatu masalah. Bagi metode yang kedua ini segala sesuatu akan lebih efektif dan kompehensif jika dilihat dari sudut pandang kesejarahan. Seorang yang menggunakan metode ini  maka terlebih dahulu akan melihat sejarah historikal yang berkaitan dengan tempat, waktu, perilaku, dan latar belakang seseorang

            Kedua metode inilah yang kiranya dapat menjadi soslusi bagi fenomena keberagaman sekarang ini. Harapan dari kedua metde ini adalah bagaimana kita dapat memecahkan masalah dengan pemikiran kita sendiri tanpa harus terikat dengan dogmatis fundamentalis yang tentunya tetap berada dalam koridor agama sesuai dengan ajaran al-quran dan hadist nabi Muhammad saw. Dengan tetap menjalankan ajaran-ajaran agama dengan benar disisi lain kita juga dapat memecahkan masalah kekinian dengan disiplin ilmu yang modern tentunya. Inilah yang selalu diharapkan umat muslim sekarang demi keberlangsungan dan kemajuan peradaban Islam dalam persaingan realitas dunia yang semakin kompleks.        





Daftar Pustaka

1. Al-quranul al-Karim
2. Abdullah, Amin, 2009, Falsafah Kalam Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
3. Nasution, Harun, 1975, Pembaharua Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang









[1] Amin Abdullah, Falsafah Kalam  Era Postmodernisme, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), hal. 4
[2] Ibid., hal. 295-296
[3] Ibid.,  hal.  17
[4] M. Arkound, Tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabi al-Islamiyah (Markaz al-Inma al-Qaumi:  Beirut 1986), hal. 295, dalam Amin Abdullah, Filsafat kalam Era postmodernisme, hal. 55
[5] Fazlu Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (The Univercity of Chicago Press. Chicago, 1982), hal. 38,  dalam Amin Abdullah, Filsafat kalam Era Postmodernisme, hal. 25
[6]Amin Abdullah, Falsafah Kallam Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pstaka Pelajar, 2009), hal. 22


[7] A-quran, Al-maidah, 104
[8] Amin Abdullah, Filsafat kalam Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pstaka Pelajar, 2009), hal. 5.




[9] Harun Nasution, Pembaharuan  Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan  (Bulan Bintang, 1975), hal.  212.
[10] Hasan Hanafi,  Dirasat Falsafiah, (Khairo: Makhtab al-Misriyyah,1987), hal. 130, dalam Amin Abdullah, Filsafat Era Postmodernisme, hal. 32

Minggu, 16 November 2014

mulla sadra


Pendahuluan

Latar Belakang

            Dalam sejarah peradaban Islam kita sering dikenalkan dengan berbagai pemikiran tokoh-tokoh Islam yang sangat membantu dalam proses majunya peradaban Islam. Pemikiran-pemikiran Islam ini tidak lepas dari pemikiran tokoh-tokoh yunani seperti Aristoteles dan Plato. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat pemikiran Islam mengenai hikmah al-Muta’aliyyah dan wujud. Filsafat wujud ini sebenarnya telah dikemukakan secara eksplisit oleh berbagai tokoh Islam seperti al-Farabi, ibnu rusyd, dan At-thusi. Akan tetapi dalam makalah ini penulis akan lebih menengahkan dan membahas pemikiran ‘’Mula Sadra’’ tentang Hikmah al-Muta’alliyah-nya dan Filsafat wujudnya. Mulla Sadra adalah tokoh yang menggabungkan semua pemikiran pendahulunya, bahkan dia terkenal di dunia barat sebagai filosof sintesa. Mula Sadra telah mengembangkan sebuah penyatuan antara tradisi mistik ’’sufi atau Iluminasionis dengan pengaruh-pengaruh Neoplatonik’’.[1]

            Mula Sadra adalah filsuf muslim yang masih mempertahankan tradisi sufisme dengan menggabungkan tradisi rasionalitas para filosof. Iluminasionis para sufi menurut Mula sadra harus di sandarkan pada rasionalitas dan begitupun sebaliknya. Kemudian dia juga beranggapan bahwa wujud adalah realitas sesungguhnya dan bukan mahiyah atau esensi. Mula Sadra juga telah mengungkapkan hakikat hikmah yang baginya kita harus membedakan antara tingkatan pemahaman dan realitas eksternal, secara rasional dan sadar. Mereka membedakan sejelas-jelasnya antara keduanya dan tidak mengaburkan keduanya pula. Oleh
karena itu jika mengaburkannya dilakukan dengan tidak sadar maka akan berdampak pada kesalahpahaman, dan apabila dilakukan dengan sadar maka akan terjadi suatu kesesatan berfikir yang sangat parah. Oleh karena itu untuk lebih jelasnya marilah kita melihat bagian pembahasan makalah ini.   



Pembahasan

Biografi
            Mula Sadra bernama lengkap Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi. Dia mempunyai gelar sadr al-din dan dia lebih populer dengan nama Mula Sadra. Dia terkenal dengan sebutan Sadr al-Muta’alihin dikalangan murid-muridnya, dan pengikutnya disebut Akhun. Mula Sadra lahir di syiraz pada tahun 979-980 HP/ 1571-72 M. Bapaknya beranama Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi Fars dan beliau adalah orang yang sangat cerdas dan saleh, dan secara sosial politik ia memiliki kedudukan yang istimewa dikota asalnya.[2]

            Mula Sadra adalah satu-satunya anak laki-laki dari sebuah keluarga mampu yang sangat menanti-nantikan anak lelaki.[3] Mulla Sadra tumbuh dengan memperoleh banyak perhatian dan juga pendidikan yang terbaik di kotanya. Sebagai sorang anak yang cerdas , dia mampu menguasai semua disiplin ilmu dan dia juga telah memperlihatkan tingkat kesolehan yang tinggi . Mulla Sadra menguasai bahasa Arab dan Persia yang amat kuat , menghafal Quran dan hadist serta mengetahui fiqhi . Setelah belajar di kota syiraz dia  pergi ke kota isfahan , yang menjadi pusat intelektual persia pada waku itu dan bahkan mungkin menjadi pusat intelektual dunia timur islam secara konfrehenship.[4]
Dikota isfahan dia belajar dibawah bimbingan dua orang guru yaitu syaikh baha’al-bin al-amili dan mirdamat . meskipun dia berasal dari jabal’ amil di Libanon dan baru belajar bahasa persia pada usia 12 tahun namu dia telah berhasil membuat karya puisi yang sangat indah.  


Mula Sadra dengan penuh semangat kepda Syaikh baha’i namu hampir secara khusus
dalam ilmu-ilmu keaagamaan (Al-ulum , Al-nakqliyyah).[5] Kemudian Mulla Sadra mulai menjalani kehidupan asketik dan pensucian diri dan selanjutnya dia pindah menuju Kahak. Hal ini dilatar belakangi sebab pada zamannya banyak orang yang sudah meninggalkan hal-hal terpuji, dan juga dia merasa bosan dengan kehidupan duniawi. Menurutnya watak dunia selalu tidak pasti dan membuat kegelisahan yang berlebihan, Alhasil adalah Mulla Sadra menemukan kebenaran baru yang belum pernah dia ketahui yang didapatinya secara langsung dari proses intuitif dan menyendiri itu. Akhirnya setelah Mulla Sadra mendapatkan kepuasan yang telah lama dicarinya karena dulu dia mengalami patah hati dan ketidakpuasan maka sekarang dia mencapai keteguhan hati dan memiliki semangat baru yang memotifasi dirinya untuk keluar daru pengasingan diri dan akhirnya menulis sebuah karya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah.[6]

Pada akhirnya Mulla Sadra setelah menyelesaikan pengasingan dirinya itu, dan kembali ke shiraz  untuk mengajarkan ilmunya disana. Ditempat kelahirannya itu dia banyak menulis karya-karyanya yang sangat luar biasa, sehingga banyak orang mulai tertarik dengan pemikiran-pemikirannya baik yang datang dari dekat maupun jauh. Namun hal yang perlu kita ingat bahwa pada masa itu Mulla Sadra bersikap untuk tidak mempedulikan imbalan yang diberikan kepadanya dan menolak menulis karangan yang berkaitan dengan penguasa yang pada saat itu hal tersebut telah menjadi sesuatu yang umum dikotanya. Karena sikapnya yang tidak ingin mengambil imbalan maka banyak para pesaing-pesaingnya yang mulai menyerangnya dengan berbagai cara. Mulla Sadra mengajarkan ilmunya di sekolah yang dibangun oleh Allahwirdi Khan di Shirazi, karena institusi ini jauh dari suasana politik dan kemegahan ibukota.


Akhirnya sekolah khan itu diminati banyak orang sampai-sampai  Thomas Herbert seorang wisatawan mengatakan bahwa ‘’sesungguhnya di Shiraz ada sekolah yang mengajarkan filsafat dan ilmu lainnya sehingga lembaga ini terkenal diseluruh penjuru Persia’’.
Selama 30 tahun hidup di shiraz, Mulla Sadra sering melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah, sehingga tak heran selama kurun waktu itu Mulla Sadra telah menunaikan haji sebanyak tujuh kali, dengan berjalan kaki. Akhirnya setelah melaksanakan haji yang ketujuh kalinya Mulla Sadra menderita sakit saat berada di Basrah yang ketika itu tujuanya adalah kembali ke Shiraz. Karena penyakitnya bertambah parah Mulla Sadra akhirnya meninggal di daerah itu pada tahun 1050 H/ 1640 M.

Hikmah

Sebelum membahas masalah hikmah al-muta’aliyyah marilah kita sejenak mengetahui terlebih dahulu apa arti dari hikmah itu sendiri. Kata al-Hikmah telah disebutkan sebanyak 20 kali dalam al-Quran al-Karim, dan yang paling banyak disebutkan dalam QS, al-Baqarah ayat 269, yang artinya: ‘’allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya, dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang sangat banyak’’.[7] Sebenarnya pemaknaan mengenai hikmah  ini bagi para mutakallimin,sufi dan para filosof sangatlah berbeda, akan tetapi kebanyakan ulama sepakat bahwa istilah hikmah tersebut adalah filsafat. Dari sinilah muncul berbagai cabang ilmu seperti al-Hikmah al-Ilahiyyah,atau al-Falsafah al-Ula. Ibnu Sina seorang filosof muslim mendefinisikan hikmah atau filsafat sebagai:’’kesempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi terhadap berbagai persoalan dan pembenaran terhadap realitas teoritis maupun praktis sesuai kemampuan manusia.[8] Baginya seorang hakim adalah orang yang mngetahui ilmu teoritis dan juga konsep-konsep spiritual, sehingga seorang hakim dapat mengetahui realitas yang sebenarnya.




Realitas tidak bisa hanya disandarkan pada aspek rasionalitas akan tetapi harus ada sebuah penghayatan spiritual yang menunjang akan hal itu. Penambahan aspek penghayatan spiritual dapat membawa kita pada sikap asketis yang dapat menjaga kelencengan atau pembelokan cara berfikir rasional kita.Inilah mengapa para filosof muslim sepakat dengan pengertian ini, dan juga dengan pengertian ini seorang Mulla Sadra mengembangkan teori hikmah al-Muta’aliyyah-nya, dengan menyatukan filsafat dan aspek penghayatan spiritual.

Karya-Karya Mulla Sadra

            Karya-karya Mulla Sadra berkisar dari yang sangat monumental dan juga ada sekedar risalah-risalah kecil. Jumlah karya mulla Sadra ada sekitar 41 risalah, dan semuanya telah dicetak dalam literatur Iran pada seabad yang lalu. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan dirincikan 5 karyanya saja. Berdasarkan sumber-sumber yang ada, karyanya dapat dirincikan sebagai berikut:
1.al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah.
            Tulisan ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1282 H, di Teheran. Tulisan-nya ini adalah tulisan yang paling utama diantara sekian banyak karyanya. Karya ini membahas mengenai  semua pesoalan yang telah dibahas oleh para filosof sebelumnya beserta dengan sintesis yang dia kemukakan.

2.al-Mabda Wa al-Ma’ad
            Karya ini di terbitkan di Teheran pada tahun 1314 H yang membahas masalah metafisika, kosmogoni, dan eskatologi, yang terdiri atas 370 hlaman dalam ukuran sedang.

3.al-Syawahid al-Ruhubiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah
            Diterbitkan di Teheran pada tahun 1286 H. Karya ini membahas tentang doktrin gnostik dan filosofis tetapi tidak merujuk pada pndapat pendahulunya dan terdiri atas 286 halaman dalam format sedang.






4.Mafatih al-Gaib
            Titerbitkan di Teheran tahun 1282 H, tulisannya ini membahas tentang doktrin-doktrin irfani atas kosmologi,eskatologi, dan metafisika, yang terdiri atas 173 halaman.
5. kitab al-Masya’ir
            Terbit pada tahun 1315 H, di Teheran, membicarakan masalah sinopsis dari pandangan ontologisnya, karena terkumpul fondasi filosofis didalamnya, dan terdiri atas 108 halaman.[9]

Hikmah al-Muta’aliyyah
            Hikmah al-Muta’aliyyah adalah salah satu pemkiran Mulla Sadra yang pertama, dimana dalam pemikirannya ini dia berusaha membuat suatu sintesa pemikiran para pendahulunya dengan pemikiranya sendiri. Dalam pemikiran ini Mulla Sadra memasukan unsur-unsur doktrinal yang bersifat inspiratif dan intuitif yang merupakan hasil iluminasi yang mentransformasikan ide-ide baru sehingga terbentuk suatu pemahaman metafisika yang baru. Jadi sangatlah jelas bahwa ada tiga fundasi berdirinya pemikiran ini diantaranya yaitu, intuisi intelektual, penalaran dan pembuktian rasional, dan yang ketiga adalah agama dan wahyu.[10] Didalamnya terihat dengan jelas keterpaduan antara irfani, filsafat, dan agama. Irfani sebagai hasil dari iluminasi yang didapatkan dari pensucian diri dan jiwa, dan pembuktian rasional dan filsafat terkait dengan al-Quran dan Hadist Nabi serta ajaran para imam. Mulla Sadra berasumsi bahwa untuk mencapai pengetahuan yang tinggi maka harus ada konsep Kasyf, yang di topang oleh wahyu, dan tidak bertentangan dengan Burhani.[11]

            Mulla Sadra dalam sejarah kehidupannya seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada mulanya dia disibukan dengan buku-buku yang diskurtif sehingga dia merasa pengetahuannya luas dan tinggi.


Akan tetapi disisi lain dia merasa terdapat suatu kekosongan dalam dirinya mengenai ilmu yang sejati, sehingga baginya perlu ada suatu konsep Zauqh, dan Wijdan. Mulla Sadra mengakui bahwa masalah ketuhanan baru bisa dipahami setelah dasar-dasar pemikiran atau konsep fumdamental-nya dipahami lebih dulu, pemahaman ini bisa dilalui dengan dua cara: pertama yaitu melalui intuisi intelektual gerak cepat dan yang kedua melalui pemahaman konseptual atau gerak lambat. Para nabi biasanya mendapatkan pengetahuan sejati melalui proses pertama dan yang kedua biasanya dilakukan oleh para ilmuan, ahli pikir dan mereka yang menggunakan rasionalitas.[12] Mulla Sadra menginginkan ada penggabungan antara kedua metode ini, agar dalam mendapatkan pengetahuan kita bisa mendapatkan pengetahuan yang  murni dan sejati.

            Mulla Sadra menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan tingkat pewahyuan atau kewalian sekalipun tidak bisa diterima oleh keputusan akal, namunharus diingat bahwa jika hanya mengandalkan akal semata pengetahuan semacam itu kemungkinan tidak bisa dijangkau. Oleh karena itu baginya kita harus dapat membedakan sesuatu yng tidak bisa dijangkau oleh akal dan yang mustahil bagi akal. Menurutnya untuk mengukur kebenaran akal dan untuk menghindari dari kesalahan rasional maka kita membutuhkan wahyu, olehnya lebih lanjut dia mengatakan bahwa hikmah itu tidak bisa di terima jika tidak mendasarkanya pada agama. Dan seseorang yang tidak mengetahui hakikat akan segala sesuatu bukan seorang ahli hikmah bagi Mulla Sadra.[13] Lanjutnya bahwa untuk menemukan kebenaran kita tidak cukup hanya bersandar pada agama saja, akan tetapi kita harus melakukan penyelidikan dan penalaran yang tinggi, sebab baginya tdak ada tempat kebenaran agama ataupun tempat bersandarnya kecuali hanya pada penalaran tersebut.   
           
            Kemudian berbicara masalah akal maka kita juga tidak bisa tidak bersandar pada agama dan wahyu, sebab akal akan terbatas fungsinya jika tidak dipadukan dengan wahyu.



Sehingga Mulla Sadra berusaha mengkombinasikan keduanya dengan tanpa meninggalkan salah satunya. Inilah proses sintesa yang diberikan Mulla Sadra dalam pemikiranya, sebab baginya agama yang benar tidak akan memberikan hukum-hukum yang bertentangan dengan pengetahuan yang meyakinkan dan pasti. Agama yang disertai dengan akal adalah cahaya diatas cahaya.[14] Dengan pemikiran semacam inilah maka Mulla Sadra di katakan oleh banyak pemikir Islam sebagai seorang yang mentransformasikan bentuk-bentuk pemikiran yang lama kedalam pemikiran yang baru dan segar, bahkan pemikiran Mulla Sadra ini banyak mendapat tanggapan positif dari berbagai filosofis muslim. Kemudian dengan pemikiran ini maka Mulla Sadra berusaha menjelaskan semua masalah dengan logis dan tidak bertentangan dengan hati. Hal ini terbukti dengan rasionalitas yang ditunjukanya demi membuktikan pengetahuan dari visi spiritualitas.

Filsafat Wujud Mulla Sadra

            Dalam filsafatnya Mulla Sadra dia membedakan antara wujud dan realitasnya. Menurutnya bahwa masalah wujud adalah sumber yang sekaligus pusat dari semua metafisika, oleh karena itu jika seseorang tidak mengetahui masalah wujud maka dia pula tidak mengetahui masalah metafisika secara keseluruhan. Dalam hal ini Mulla sadra telah menetapkan dua proposisi diantaranya yaitu: 1. Wujud tidak memerlukan pembuktian, karena ia sudah terbukti dengan sendirinya. 2. Wujud tidak bisa didefinisikan. Kedua hal ini saling berkaitan satu sama lain, sebab jika wujud tidak memerlukan pembuktian maka wujud pula sangat janggal apabila didefinisikan. Bagi Mula sadra walaupun wujud bersifat apriori atau pasti akan tetapi akal atau fikiran telah memahami konsep wujud tetapi belum secara universal. Oleh sebab itu untuk menjelaskan ketidak jelasan pemahaman itu mulla sadra mengusulkan cara penyelidikan dengan menganalisa makna wujud dalam termenologhi yang lebih jelas.




            Dalam penyelidikan Mulla sadra, hakekat wjud menurutnya terbagi menjadi dua pandangan: yang pertama Wujud yang lebih abstrak dan yang kedua adalah Konseptual. Wujud dalam arti abstrak adalah bahwa wujud itu terdapat pada semua yang mawujud, sebab wujud hanya menandakan keberadaan bagi yang maujud, apabila yang wujud tidak ada dalam maujud maka kata keberadaan mawujud juga tidak ada. Kemudian wujud dalam arti konseptual adalah sebagaimana yang diakui oleh kaum parepatetik bahwa wujud pada hakekatnya adalah wujud dari sesuatu, dan tidak ada yang lebih rill selain wujud itu sendiri.[15]
 Dalam pemahaman Mulla sadra wujud merupakan sifat yang umum pada seluruh yang ada, tetapi kemudian wujud pada yang ada itu berbeda-beda, Wujud bagi mulla sadra tidak terdapat dalam pikiran karena esensi wujud ia berada pada dunia external, sebab jika wujud berada pada fikiran maka berarti konsep “ADA” telah hilang, sementara dalam pembahasn sebelumnya mulla sadra berasumsi bahwa wujud menandakan tingkat keberadaan akan sesuatu.

           








KESIMPULAN

Mulla Sadra adalah tokoh yang berusaha menyintesiskan pemikiran-pemikiran pendahulunya mengenai penalaran rasional dengan konsep iluminasi yang dikemas dalam Hikmah Al- Mutaalliyahnya. Dalam pemikirannya ini dia berusaha menggabungkan antara agama, filsafat, dengan konsep Zauqh atau Israqih. Bagi Mulla sadra ketiga hal ini saling membuktikan kebenaran dan tidak bertentangan satu sama lain. Oleh karna itu kita harus dapat membedakan mana yang mustahil bagi akal dan mana yang tidak bisa dijangkau oleh akal.  Agama dan Wahyu bagi Mulla sadra adalah bukan sesuatu yang mustahil bagi akal, akan tetapi ia belum bisa dijangkau oleh akal. Sebaliknya jika agama dan wahyu tidak bersandar pada rasionalitas maka agama itu akan terkesan meninggalkan keyakinan terhadap ilmu yang pasti, sebab agama yang disandarkan pada penalaran merupakan cahaya diatas cahaya.
Pemikiran Mulla Sadra yang kedua adalah Filsafat Wujudnya, Wujud dalam pandangan mulla sadra ada dua hal yakni wujud abstrak dan wujud konseptual. Mulla sadra tidak sependapat dengan para filosofis yang menyatakan bahwa wujud merupakan hasil abstraksi mental dari suatu pemikiran. Pemikiran seperti ini baginya telah menghilangkan konsep “ada’ pada wujud, hal yang perlu diketahui adalah wujud itu menandakan keberadaan sesuatu dan wujud secara universal merupakan esensi yang terdapat dalam sesuatu yang ada, maka apabila wujud dikatakan hanya berada dalam fikiran maka dia tidak memenuhi sarat yang ada.













DAFTAR PUSTAKA


Al-quran al-Karim
Blackburn, simon, 2013. Kamus Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Nur, Syaifan, 2002. Filsafat wujud Mulla Sadra, Yogyakarta: Pustaka pelajar

















[1]Simon Blackburn, kamus Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), hal. 530






[2] Seyed Hossein Nasr, Sadr Al-Din shirazi  , hal. 31 dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mula Sadra , hal . 43
[3] Diberitakan bahawa karena Ayahnya tidak memilki anak Laki-Laki sehingga dirinya berjanji akan membantu farkir miskin dan ahli ilmu jika ia mendapat anak Lelaki dari ALLAH SWT. Lihat Syaid Abu al-Hasan Husaini Qazwini, The Life Of Sadra Al-Muta’alihin,  dalam Seyed Hossein Nasr, yadnama Mula Sadra, Hal. 7, dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 44
[4]Syaifan Nur,   Filsafat wujud Mula Sadra , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 44





[5] Diberbagai tempat dalam Shar al-Usul min al- Kafi, Mulla Sadra menyatakan kesaksiannya tentang hal ini. Secara jujur dia menyatakan bahwa dalam ilmu-ilmu keagamaan dia mengambil dan memperoleh dukungan dari Syaikh al-Baha’i. Lihat Mulla Sadra, Syar al-Usul min al-Kafi, h. 12,16,126,324. Sebagaimana dikutip oleh Muhsin Bidarfar dalam pendahulunya terhadap Mulla Sadra, Tafsir al-Quran al-Karim, J.I, h. 87-88, dalam Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, hal. 46
[6]Fazlur Rahman, The Philoshophy  of Mulla Sadra, (Albany: State Univercity of New York Press), hal. 3, dalam Syaifan Nur, Filsafat ujud Mulla Sadra, hal. 49.





[7] Al-Baqarah ayat 269
[8]Ibnu sina, Uyun al-Hikmah, (Kairo: t.p.,1326 H), hal. 30 , dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra,  hal. 100.





[9]Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), hal. 61-62.
[10]Lihat Seyed Hossein Nasr, Sadr  al-Din Shirazi,  hal. 88, dalam Syaifan Nur,  Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 122
[11] Pernyataan Mulla Sadra dalam kitab al-Masya’ir, dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 123 .



[12] Lihat Mulla Sadra,  Tafsir al-Quran al-Karim, j. VI, hal.  204, dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 124
[13] Lihat Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyyah, j. V, hal. 205,dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 125.




[14] Ibid.,hal 125




[15] Ibid., hal. 157.