Minggu, 16 November 2014

agama dan konflik sosial




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Agama merupakan kebutuhan dasar manusia, karena agama merupakan sarana untuk membela diri terhadap segala kekacauan hidup manusia, hamper semua masyarakat menusia mempunyai agama.Akan tetapi di sisi lain banyak ditemui dalam catatan sejarah, konflik yang terjadi akibat keangkuhan manusia yang membawa agama sebagai kepentingan nagsunya, masjid-masjid indah, gereja-gereja megah, kuil-kuil dan pura mempesona, mengapa bumi bau amis darah akibat pertempuran antar agama. Kemana ajaran ihsan, ke mana ajaran tatwan asih, kemana ajaran kasih, kemana ajaran dharma. Mengapa tidak dihayati sebagai kekuatan pribadi untuk berbuat dan membangun kesejahteraan masyarakat dunia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana peran agama sebagai factor konflik di masyarakat?
2. Bagaimana agama-agama indikasi konflik di masyarakat?
3. Bagaiman perbedaan doktrin dan sikap mental ?
4. Bagaimana perbedaan suku dan ras pemeluk agama ?
5. Bagaimana perbedaan tingkat budaya  ?
6. Bagaimana masalah mayoritas dan minoritas golongan agama ?





BAB II
PEMBAHASAN

A. Agama Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat

Agama dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Afif Muhammad.[1] Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi.[2] yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang-garang menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti di catat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Sebagaiman pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf juga mengatakan bahwa agama juga mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan keenggaran untuk menyerah kepada kematian, menyerah dan menghadapi frustasi.Kedua, menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuranb ikatan-ikatan kemanusiaan.[3] Fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa “Masyarakat” menjadi lahan tumbuh suburnya konflik. Bibitnya pun bias bermacam-macam. Bahkan, agama bias saja menjadi salah satu factor pemicu konflik yang ada di Masyarakat itu sendiri.




B. Agama dan Indikasi Konflik
Factor Konflik yang ada di Masyarakat secara tegas telah dijelaskan dalam Al-qur’an seperti dalam surat Yusuf ayat 5, disana dijelaskna tentang adanya kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan Norma Ilahi. Atau, secara kebih jelas, disebutkan bahwa kerusakan diakibatkan oleh tangan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Rom ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia.
Salah satu cikal bakal konflik yang tidak bisa dihindari adalah adanya perbedaan pemahaman dalam memahami ajaran agama masing-masing pemeluk. Peking tidak konflik terjadi intra Agama atau disebut juga konflik antar Madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran Agama.
Ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama. Pertama, Agama di pahami sebagai suatu doktrin dan ajaran. Kedua, Agama di pahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah[4]. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Oleh karena itu, dalam setiap agama ada istilah-istilah Dakwah, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan ajaran agama.
Bahkan, tidak jarang masing-masing agama menjastifikasikan bahwa agamanyalah yang paling benar. Apabila kepentingan ini di kedepankan, masing-masing agama akan berhadapan satu sama lain dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya entimen agama. Dan inilah yang kemudian melahirkan konflik antar agama, bukan intra agama.
Langkah-langkah berikut akan meminimalkan konflik agama yaitu sebagai berikut :
1. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama, tidak mempedebatkan segi-segi perbedaan dalam agama.




2. Melakukan kegiatan social yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3. Mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan aspek universal rabbaniyah.
4. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlakuk karimah.
5. Menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama.[5]
           
C. Perbedaan doktrin dan sikap mental

 Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses asosiatif yaitu proses yang bersifat menyatukan, sedangkan yang pertama merupakan dari proses disasosiatif yaitu proses yang bersifat mencaraikan.Konflk melibatkan dua pihak yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi kayal (konsepsional) melainkan sebagai fekta sejarah yang masih sering terjadi.
Perbedaan iman menimbulkan bentrokan. Tetapi harus diterima sebagai fakta yang diambil hikmah.Setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya.
Dalam skala penilaian yang dibuat (subjektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agamanya sendiri selalu diajadikan patokan (refernce group).
Apologetika adalah bagian dari teologi yang membela dan mempertahankan kebenaran agama yang diimaninya terhadap serangan dari dalam maupun dari luar.Ciri konfrontatif dariapologetika adalah jika memulai metode antitesis maka ditonjolkan kekurangan dan kelemahan agama lain.Apabila menggunakan metode positivo- tesis maka kebenaran dan sepertanyaan Allah dalam kitab suci yang dipercayainya, tanpa menjelekkan agama dengan menyerang kitab suci mereka dan tidak melukai hati orang lain.Apologi yang konfrontatif bertujuan untuk mencari menang sendiri dengan mengalahkan pihak lain belum pernah menghasilakn buah positif.
Ajaran agama pada umumnya membentuk sikap yang baik / persaudaraan, cinta kasih, dan yang sangat membantu ketentraman dan keamanan masayarakat.tiap umat beragama mempunyai keyakinan bahwa agamanya yang paling benar maka mereka mejadi sombong, merasa lebih tinggi dari pada semua pemeluk agama yang lain.Denag kaca mata superior, si penyombong itu memandang sesuatu yang ada pada golongan agama lain serba bodoh dan serba salah.Keseluruhan komplek jiwa itu disebut dengan istilah prasangaka / prejudice.Hal ini memang sering terjadi dalam masyarakat dengan agama heterogen, dimana kelompok agama luar atau out group menjadi korban.[6]

D. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama.

Perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun.Asumsi yang terkenal dan mengundang banyak sanggahan yang gigih adalah dari Arthur de Gobineau yang menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa manusia.Namun kenyataan sejarah tidak dapat dibantah bahwa ras kulit putih sejak awal masehi memeluk agam kristen yang nantinya oleh marx weber dinyatakan sebagai kekuatan yang mendatangkan kemajuan dalam berbagai sektor peradaban khususnya kapitalisme dan teknologi.
Ada ketegangan yang terjadi selama berabad-abad antara kulit putih yang beragama kristen khususnya di Amerika Utara dan Afrika Selatan masih menjalankan politik dikriminasi ras terhadap ras kulit hitam (negro).Tindakan tercela itu dilakukan bukan karena kurangnya pengetahuan tentang jahatnya diskriminasi itu.[7]

E. Perbedaan tingkat kebudayaan.

Kemajuan kebudayaan bangsa didunia dibedakan menjadi dua yaitu kebudayaan yang tinggi dan kebudayaan yang rendah, meskipun pembagian dikotonis dan simplitis ini menenggelamkan nuansa kekayaan kultural.Adanya ketegangan antara bangsa berbudaya tinggi dan yang rendah tidak dapat dilepaskan dari pertanggung jawaban agama yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan.Sacara moral agama tidak bisa cuci tangan atas terjadinya jurang diskriminatif antara bangsa yang maju dan terbelakang.
Agama merukapakan motor dan promotor penting bagi pembudayaan manusia khususnya dan alam semesta umumnya. Masyarakat dan kebudayaan merupakan usaha manusia untuk membangun dunianya.Bukan agama sendiri yang mebangun dunia tetapi manusia yang berinspirasi pada agama yang dipeluknya.Ekstenalisasi berarti penyerahan diri manusia terus menerus kedalam dunia baik dalam kegiatan fisik maupun mental yang kemudian nampak dihadapan pembuatnya sebagai fasilitas lahiriah yang lain dari aslinya.Internalisasi adalah kepemilikan kembali realitas yang sama,mengubahnya sekali lagi dalam struktur dunia objektif ke struktur dunia kesadaran.Menurut Faohry Ali, untuk menelaah agama metode yang paling tepat untuk digunakan adalah metode fenomenologis.Peter L. Burger menyatakan bahwa agama masih memainkan perannya yang strategis dalam usaha manusia membangun dunianya.[8]

f. Masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.

Hubungan antar kedua golongan tersebut sering diungkapkan dengan istilah diktatus mayoritas dan terror minoritas.Agama-agama besar didunia tidak selalu memiliki penagnut yang besar juga.Hubungan mayoritas-minoritas membawa dampak ditingkat nasional, misalnya diAceh,Jawa Barat, Sulawesi, minoritas Kristen yang mengalami kerugian fisik yaitu adanya pengusakan atau pembakaran gedung peribadatan.Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan masalah konflik anatr golonagn yaitu : agama diubah menjadi ideologi, prasangka mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, mitos dari mayoritas.Selanjutnya ada beberapa golongan minoritas yang perlu kita perhatikan,hal ini disebabkan karena kalau melalui saluran hukum golongan ini tidak dapat berbuat apa-apa,namun diluar hukum atau dalam tindak lawan hukum maka golongan ini sangatlah agresif.
1.      Golongan minoritas menyadari dirinya sebagai kelompok religius yang lemah, mereka menjauhkan diri kedaerah yang terpencil misalnya susku tengger di jawa timur dan suku badui di jawa barat.
2.       Golongan minoritas tidak menyadari dirinya sebagai kelompok yang kompak.
3.      Golongan minoritas agama yang memilki kesadran tinggi atas kedudukannya dalam masyarakat.
4.       Golongan minoritas yang berideologi marxis menurut catatan sejarah mencetuskan reaksinya terhadap mayoritas dengan cara tersendiri.[9]




BAB III
ANALISIS TEORI

a.      Analisis agama sebagai faktor konflik di masyarakat

Menuru Afif Muhamad dalam bukunya yang berjudul ‘’Agama dan konflik sosial’’ dia mengatakan bahwa agama pada dasarnya menunjukan wajah ganda,dia melihat pada realita dari kehidupan antarumat beragama di dunia. Dia menginterpretasikan agama memiliki wajah ganda dikarenakan menurutnya agama adalah satu organisasi yang selalu memproklamirkan perdamaian,tapi disisi lain agama adalah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan antarumat beragama. Kita melihat bahwa Afif Muhamad sangatlah rasional dalam memandang realita keberagaman,karena dia memandang agama dari dua segi yang berbeda. Hal ini tentunya sangat tidak adil untuk agama jika kita mengatakan bahwa agama adalah penyebab konflik sosial, satu hal yang perlu kita ketahui bahwa agama adalah sesuatu yang selalu berdampingan dengan kedamaian sehungga kadang kala agama dianggap sebagai suatu yang sangatlah maha baik dan maha suci dalam kepercayaan masing-masing individu. Berarti secarah komprehensif konklusi yang dapat kita ambil adalah bahwa bukan agama yang menyaebabkan terjadinya konflik sosial melainkan kefanatikan atas agama itu sendiri sehingga kita sudah tidak mau lagi secara terbuka menerima dan menghormati agama lain. Disinilah kesalahan dari Afif Muhamad dalam mengemukakan teorinya, dia hanya memandang agama dari segi dan sisi aksidennya saja, akan teapi ia tidak memasuki area internal yang menjadi substansi agama itu sendiri.[10]

b.      Analisis agama dan indikasi konflik

Dalam hal ini kita akan sepakat apabila kita mengatakan bahwa konflik yang terjadi di akibatkan oleh kesalahpahaman dalam menafsirkan agama, atau biasa kita sebut dengan perbedaan mazhab. Karena seseorang salah dalam memahami suatu mazhab maka ia akan dengan mudan memvonis mazhab itu adalah sesat, diluar ajaran agama dan lain sebagainya. Padahal fatwa yang kita keluarkan itu adalah berasal dari pemahaman kita yang salah pula.

Kebanyakan dari kita apabila memandang atau memahami sesuatu mazhab kita selalu menanamkan sikap egois terhadap mazhab tersebut. Keegoisan yang berasal dari kefanatikan kita sendiri, dan kefanatikan ini sebenarnya dapat membuat kita hanya terikat dengan satu mazhab saja. Padahal kita kurang memahami dan bahkan tidak melihatnya dari segi positifnya, dimana mazhab yang lain itu dapat memberikan bandingan pemahaman terhadap mazhab kita sendiri. Dengan adanya mazhab-mazhab yang lain maka secara tidak langsung wawasan dan pengeahuan kita tentang tori keagamaan semakin bertambah, sehingga kita dapat menjadi seorang agamis yang berwawasan luas. Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa perbedaan diantara umatku itu adalah rahmat, dengan rahmat ini kita dapat mempelajari seluk beluk kehidupan dari berbagai arah. Sehingga kita pula bisa menjadi seorang yang terbuka dalam segala hal, tapi dengan satu syarat bahwa pemahaman yang melenceng dari nilai-nilai tidak boleh kita ambil dan gunakan. Konflik akan rentan terjadi apabila semua umat beragama menanamkan pada dirinya sikap seperti ini.

c.       Analisis perbedaan doktrin dan sikap mental

Perbedaan doktrin adalah salah satu penyebab konflik sosial antar agama, kebiasaan orang-orang sekarang adalah  selalu memandang agama lain secara bodoh dan serba salah. Hal ini dalam beberapa literatur telah membagi dua sikap seperti ini yaitu apologies dan positive-tesis. Apologies adalah sikap dimana kita memandang agama lain dengan pandangan dibawah, dalam artian bahwa agma lain selalu berada dibawah kita tanpa harus melihat sebagian kebenaran yang ada di dalamnya. Kadang dalam agama lain terdapat nilai-nilai kebenaran yang sengaja kit tidak melihatnya dikarenakan pemikiran kita bahwa aganma kitalah yang paling benar. Bahkan kita menganggap bahwa agama kita adalah satu-satunya agama yang paling benar, padahal masih banyak dari kaum kita yang tidak menjaga nilai-nlai kebenaran yang telah ada itu. Banyak diantara kita yang sangat sulit menerima kebenaran dari agama lain, kebenaran yang secara esensial sama dengan kebenaran yang ada dalam agama kita sendiri. Inilah yang menjadi masalah dalam kehidupan sekarang ini dimana kehidupan ini sangatlah dipenuhi oleh orgnisasi agama yang sangat kompleks. Semakin banyak agama muncul di dunia ini maka akan semakin banyak pula konflik yang akan terjadi,akan tetapi saya harus mengingatkan kembali bahwa bukanlah agama yang menyebabkanya melainkan suatu keegoisan dan kefanatikan kita terhadap agama kita sendiri.




Selanjutnya sikap kedua dari sikap mental keberagaman ini adalah sikap positive-tesis, yang dapat diartikan sebagai sikap yang selalu menerima kebenaran agama lain dengan terbuka dan tidak menyerang kitab suci agamanya dengan tujuan yang sangat buruk. Sikap inilah yang harusnya ada dalam diri setiap umat beragama, karena secara inheren agama itu selalu menyebarkan perdamaian,kebaikan,dan kerukunan antar umat beragama.

d.      Analisis perbedaan suku dan ras umat beragama
                       
Perbedaan suku dan ras merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, Arthur dalam bukunya mengatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi dalam peradaban ini. Kita kurang tau mengapa Arthur mengatakan seperti itu namum Max weber dalam bukunya telah menjelaskan bahwa yang melakukan progresifittas dalam dunia ini adalah ras kulit putih. Dia berasumsi seperti itu karena jika dilihat dari sejarahnya maka ras kulit putihlah yang melakukan kemauan dalam dunia ini, terutama Max melihatnya dari segi ekonomi, karena baginya ras kulit putih telah menciptakan suatu bangunan dan konstruksi kapitalisme yang dianggapnya sebagai sesuatu yang sangat membantu dalam segi perekonomian masyarakat.
Max weber telah menghilangkan nilai keberadaan dari ras kulit hitam secara spontan tanpa memperhatikan dan menyadari bahwa penilaianya itu hanya dilihat dari satu segi dan bentuk kehidupan yaitu masalah perekonomian. Mungkin Weber dalam hal ini tidak meneliti lagi dalam bidang lain yang mungkin saja ras kulit hitamlah yang telah melakukan progresifitas terhadap dunia ini.    

e.       Analisis perbedaan tingkat kebudayan

Agama adalah salah satu faktor penyebab terbentuknya berbagai kebudyaan dunia seperti sakarang ini. Agama yang datang dengan sisitem kepercayaan dan berbagai corak sisitem ritualnya ini telah mengubah manusia menjadi bermacam-macam budaya. Banyak para antropolog telah membagi budaya menjadi dua yaitu budaya yang tinggi dan budya yang rendah. Jika budaya merupakan hasil cipta,rasa,karsa manusia maka kita sangatlah naif apabila kita mengatakan atau membagi budaya menjadi budaya tinggi dan rendah seperti itu.




 Ketika kita mengatakan dan membagi dua kebudayaan seperti itu maka secara otomatis kita telah menghilangkan nilai keluasan dan kreativitas sebuah budaya. Kita kurang mengetahui darimana dasarnya para antropolog mengatakan hal itu,tapi yang jelas bahwa dalam benak dan pikiran kita tidak ada pembagian seperti itu,sebab pembagian budaya seperti itu akan membuat konflik diantara umat manusia. Apabila hasil ciptaan kita diktakan rendah maka kita secara reaktif akan mengalami keresahan psikologis,dan kemudian akibat yang akan timbul adalah suatu sentimental dan bahkan akan mengakibatkan terjadinya konflik sosial.

f.       Anlisis masalah mayoritas dan minoritas keberagaman

    Masalah mayoritas dan minoritas ini tentunya sudah sangat sering kita dengarkan atau kita lihat dalam media dan berita-berita konflik sosial. Hal ini disebabkan karena adanya prasangka atau predjuice dari kelompok mayoritas maupun sebaliknya. Seperti contoh yang kita lihat di aceh dimana banyak kaum nasrani yang tidak di ijinkan untuk membangun tempat peribadatan. Kemudian di Jawa barat tejadi pengrusakan gereja oleh kaum muslim,hal ini dikarenakan adanya predjuice terhadap kaum minoritas, kemudian setelah adanya predjuice itu para kaum mayoritas berulang kali melakukan diktatus sehingga kelihatan kaum mayoritas itu telah menindas kaum minoritas. Banyak konflik sosial ang terjadi akibat perseturuan kedua kaum ini. Dalam hal ini seharusnya para kaum mayoritas sebaiknya melakukan proteksi dan perlindungan kepada kaum minoritas dan bukan sebaliknya. Apabila hal ini telah dilakukan oleh kaum mayoritas maka sangat tidak mungkin prasangka negatif atau predjuice tadi akan muncul dalam diri masyarakat.
Predjuice-predjuice tersebut sebenarnya hanya merupakan suatu kecmasan terhadap kaum lainya karena diangga akan mengganggu keberadaannya. Oleh karena itu proteksi dari kaum yang berkuasalah yang harus berperan dalam hl ini. Kemudian hal kedua yang harus diperhatikan oleh kaum berkuasa adalah penekanan terhadap kaum minoritas, peneknan ini bisa dalam kehidupan beragama, perekonomian dan lain sebagainya. Pendiktean terhadap kaum minoritas ataupun sebaliknya haruslah segera dihilangkan dari dunia ini agar kedamaian antarumat beragama akan selalu terjagas.





BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN

Konflik yang ada di masyarakat adalah akibat dari ulah manusia sendiri sebagaimana di jelaskan dalam al-qur’an surat yusuf ayat 5 dan surat al-rum ayat 41 untuk mencapai pemahaman dalam agama diperlukan dua pendekatan :
Pertama : agama di fahami sebagai suatu doktrin dan ajaran.
Kedua : agama di fahami sebagai aktualisasi dari doktrin.
            Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang di anggap garang dan menyebar konflik.






DAFTAR PUSTAKA
1.      Adian Husaini, filsafat ilmu, (yogyakarta , IRGIs0d , 2009)
2.      Arif M, Kerukunan Beragama Pada Era Globalisasi, 1997, Bandung
3.      Betty R, Schrarf. Sosiologi Agama, Terj. The Sociological Study Of Relegion oleh Drs. Machnun Husein. Jakarta. 2004
4.      Bdk. Apologie, encyclopedie I,N. V Standard Boekhandel Antwerpen, Uitg. Het Spectrum Utrech, p. 299
5.      Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung, 2006
6.      Hendro Puspito, Sosiologi Agama,Yogyakarta, Kanisius,
7.      Johan Efendi. Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Mihakun Teologi Kerukunan Dalam Prisma. Jakarta. 1978
8.      Peter L. Berger, The Social Reality Of Religion, Penguin Books
9.      R. Bierstedt. The Social Order. McGraw-Hill Kogusha Lid. Tokyo-Sydney


[1] Arif M, Kerukunan Beragama Pada Era Globalisasi, 1997, Bandung, hlm. 1
[2] Johan Efendi. Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Mihakun Teologi Kerukunan Dalam Prisma. Jakarta. 1978. Hlm. 13
[3]  Betty R, Schrarf. Sosiologi Agama, Terj. The Sociological Study Of Relegion oleh Drs. Machnun Husein. Jakarta. 2004. Hlm.35

[4]  Afifi Muhammad, Op. Cit

[5] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung, 2006, hlm. 151-152

[6]Bdk. Apologie, encyclopedie I,N. V Standard Boekhandel Antwerpen, Uitg. Het Spectrum Utrech, p. 299
[7] R. Bierstedt. The Social Order. McGraw-Hill Kogusha Lid. Tokyo-Sydney hlm 69-70
[8] Peter L. Berger, The Social Reality Of Religion, Penguin Books , hlm 34
[9] Hendro Puspito, Sosiologi Agama,Yogyakarta, Kanisius, hlm 165-167
[10] Adian Husaini, filsafat ilmu, (yogyakarta , IRGIs0d , 2009), hlm 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar