BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Agama merupakan kebutuhan dasar manusia, karena agama merupakan
sarana untuk membela diri terhadap segala kekacauan hidup manusia, hamper semua
masyarakat menusia mempunyai agama.Akan tetapi di sisi lain banyak ditemui
dalam catatan sejarah, konflik yang terjadi akibat keangkuhan manusia yang
membawa agama sebagai kepentingan nagsunya, masjid-masjid indah,
gereja-gereja megah, kuil-kuil dan pura mempesona, mengapa bumi bau amis darah
akibat pertempuran antar agama. Kemana ajaran ihsan, ke mana ajaran tatwan
asih, kemana ajaran kasih, kemana ajaran dharma. Mengapa tidak dihayati sebagai
kekuatan pribadi untuk berbuat dan membangun kesejahteraan masyarakat dunia.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
peran agama sebagai factor konflik di masyarakat?
2. Bagaimana
agama-agama indikasi konflik di masyarakat?
3.
Bagaiman perbedaan doktrin dan sikap mental ?
4.
Bagaimana perbedaan suku dan ras pemeluk agama ?
5.
Bagaimana perbedaan tingkat budaya ?
6. Bagaimana
masalah mayoritas dan minoritas golongan agama ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat
Agama
dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai,
sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Afif Muhammad.[1]
Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”.
Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi.[2] yang
menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan
menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain
menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang-garang menyebar
konflik, bahkan tak jarang, seperti di catat dalam sejarah, menimbulkan
peperangan.
Sebagaiman
pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf juga mengatakan bahwa agama juga
mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan keenggaran untuk menyerah kepada
kematian, menyerah dan menghadapi frustasi.Kedua, menumbuhkan rasa permusuhan
terhadap penghancuranb ikatan-ikatan kemanusiaan.[3]
Fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa “Masyarakat” menjadi lahan tumbuh
suburnya konflik. Bibitnya pun bias bermacam-macam. Bahkan, agama bias saja
menjadi salah satu factor pemicu konflik yang ada di Masyarakat itu sendiri.
B. Agama
dan Indikasi Konflik
Factor Konflik yang ada di Masyarakat secara tegas telah dijelaskan
dalam Al-qur’an seperti dalam surat Yusuf ayat 5, disana dijelaskna tentang
adanya kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk
menyimpang dari nilai-nilai dan Norma Ilahi. Atau, secara kebih jelas, disebutkan
bahwa kerusakan diakibatkan oleh tangan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam
surat Al-Rom ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar
konflik sesungguhnya adalah manusia.
Salah satu cikal bakal konflik yang tidak bisa dihindari adalah
adanya perbedaan pemahaman dalam memahami ajaran agama masing-masing pemeluk.
Peking tidak konflik terjadi intra Agama atau disebut juga konflik antar
Madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran Agama.
Ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama.
Pertama, Agama di pahami sebagai suatu doktrin dan ajaran. Kedua, Agama di
pahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam
sejarah[4].
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang
dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut.
Oleh karena itu, dalam setiap agama ada istilah-istilah Dakwah, meskipun
dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan ajaran
agama.
Bahkan, tidak jarang masing-masing agama menjastifikasikan bahwa
agamanyalah yang paling benar. Apabila kepentingan ini di kedepankan,
masing-masing agama akan berhadapan satu sama lain dalam menegakkan hak
kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya entimen agama. Dan inilah yang
kemudian melahirkan konflik antar agama, bukan intra agama.
Langkah-langkah
berikut akan meminimalkan konflik agama yaitu sebagai berikut :
1. Menonjolkan
segi-segi persamaan dalam agama, tidak mempedebatkan segi-segi perbedaan dalam
agama.
2. Melakukan
kegiatan social yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3. Mengubah
orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi
pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan aspek universal
rabbaniyah.
4. Meningkatkan
pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi
pekerti yang luhur dan akhlakuk karimah.
5. Menghindari
jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama.[5]
C. Perbedaan doktrin dan sikap
mental
Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak
belakang dengan perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil
dari proses asosiatif yaitu proses yang bersifat menyatukan, sedangkan yang
pertama merupakan dari proses disasosiatif yaitu proses yang bersifat
mencaraikan.Konflk melibatkan dua pihak yang berbeda agama, bukannya sebagai
konstruksi kayal (konsepsional) melainkan sebagai fekta sejarah yang masih
sering terjadi.
Perbedaan iman menimbulkan bentrokan. Tetapi harus diterima sebagai fakta yang diambil hikmah.Setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya.
Perbedaan iman menimbulkan bentrokan. Tetapi harus diterima sebagai fakta yang diambil hikmah.Setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya.
Dalam
skala penilaian yang dibuat (subjektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agamanya sendiri selalu diajadikan patokan (refernce
group).
Apologetika adalah bagian dari teologi yang membela dan mempertahankan kebenaran agama yang diimaninya terhadap serangan dari dalam maupun dari luar.Ciri konfrontatif dariapologetika adalah jika memulai metode antitesis maka ditonjolkan kekurangan dan kelemahan agama lain.Apabila menggunakan metode positivo- tesis maka kebenaran dan sepertanyaan Allah dalam kitab suci yang dipercayainya, tanpa menjelekkan agama dengan menyerang kitab suci mereka dan tidak melukai hati orang lain.Apologi yang konfrontatif bertujuan untuk mencari menang sendiri dengan mengalahkan pihak lain belum pernah menghasilakn buah positif.
Apologetika adalah bagian dari teologi yang membela dan mempertahankan kebenaran agama yang diimaninya terhadap serangan dari dalam maupun dari luar.Ciri konfrontatif dariapologetika adalah jika memulai metode antitesis maka ditonjolkan kekurangan dan kelemahan agama lain.Apabila menggunakan metode positivo- tesis maka kebenaran dan sepertanyaan Allah dalam kitab suci yang dipercayainya, tanpa menjelekkan agama dengan menyerang kitab suci mereka dan tidak melukai hati orang lain.Apologi yang konfrontatif bertujuan untuk mencari menang sendiri dengan mengalahkan pihak lain belum pernah menghasilakn buah positif.
Ajaran
agama pada umumnya membentuk sikap yang baik / persaudaraan, cinta kasih, dan
yang sangat membantu ketentraman dan keamanan masayarakat.tiap umat beragama mempunyai
keyakinan bahwa agamanya yang paling benar maka mereka mejadi sombong, merasa
lebih tinggi dari pada semua pemeluk agama yang lain.Denag kaca mata superior,
si penyombong itu memandang sesuatu yang ada pada golongan agama lain serba
bodoh dan serba salah.Keseluruhan komplek jiwa itu disebut dengan istilah
prasangaka / prejudice.Hal ini memang sering terjadi dalam masyarakat dengan
agama heterogen, dimana kelompok agama luar atau out group menjadi korban.[6]
D. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama.
Perbedaan
suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk menciptakan
hidup persaudaraan yang rukun.Asumsi yang terkenal dan mengundang banyak
sanggahan yang gigih adalah dari Arthur de Gobineau yang menyatakan bahwa ras
kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa manusia.Namun kenyataan sejarah
tidak dapat dibantah bahwa ras kulit putih sejak awal masehi memeluk agam
kristen yang nantinya oleh marx weber dinyatakan sebagai kekuatan yang
mendatangkan kemajuan dalam berbagai sektor peradaban khususnya kapitalisme dan
teknologi.
Ada
ketegangan yang terjadi selama berabad-abad antara kulit putih yang beragama
kristen khususnya di Amerika Utara dan Afrika Selatan masih menjalankan politik
dikriminasi ras terhadap ras kulit hitam (negro).Tindakan tercela itu dilakukan
bukan karena kurangnya pengetahuan tentang jahatnya diskriminasi itu.[7]
E. Perbedaan tingkat kebudayaan.
Kemajuan
kebudayaan bangsa didunia dibedakan menjadi dua yaitu kebudayaan yang tinggi
dan kebudayaan yang rendah, meskipun pembagian dikotonis dan simplitis ini
menenggelamkan nuansa kekayaan kultural.Adanya ketegangan antara bangsa
berbudaya tinggi dan yang rendah tidak dapat dilepaskan dari pertanggung
jawaban agama yang dianut oleh bangsa yang bersangkutan.Sacara moral agama
tidak bisa cuci tangan atas terjadinya jurang diskriminatif antara bangsa yang
maju dan terbelakang.
Agama
merukapakan motor dan promotor penting bagi pembudayaan manusia khususnya dan
alam semesta umumnya. Masyarakat dan kebudayaan merupakan usaha manusia untuk
membangun dunianya.Bukan agama sendiri yang mebangun dunia tetapi manusia yang
berinspirasi pada agama yang dipeluknya.Ekstenalisasi berarti penyerahan diri
manusia terus menerus kedalam dunia baik dalam kegiatan fisik maupun mental
yang kemudian nampak dihadapan pembuatnya sebagai fasilitas lahiriah yang lain
dari aslinya.Internalisasi adalah kepemilikan kembali realitas yang sama,mengubahnya
sekali lagi dalam struktur dunia objektif ke struktur dunia kesadaran.Menurut
Faohry Ali, untuk menelaah agama metode yang paling tepat untuk digunakan
adalah metode fenomenologis.Peter L. Burger menyatakan bahwa agama masih
memainkan perannya yang strategis dalam usaha manusia membangun dunianya.[8]
f. Masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Hubungan
antar kedua golongan tersebut sering diungkapkan dengan istilah diktatus
mayoritas dan terror minoritas.Agama-agama besar didunia tidak selalu memiliki
penagnut yang besar juga.Hubungan mayoritas-minoritas membawa dampak ditingkat
nasional, misalnya diAceh,Jawa Barat, Sulawesi, minoritas Kristen yang
mengalami kerugian fisik yaitu adanya pengusakan atau pembakaran gedung
peribadatan.Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
masalah konflik anatr golonagn yaitu : agama diubah menjadi ideologi, prasangka
mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, mitos dari mayoritas.Selanjutnya
ada beberapa golongan minoritas yang perlu kita perhatikan,hal ini disebabkan
karena kalau melalui saluran hukum golongan ini tidak dapat berbuat
apa-apa,namun diluar hukum atau dalam tindak lawan hukum maka golongan ini
sangatlah agresif.
1.
Golongan
minoritas menyadari dirinya sebagai kelompok religius yang lemah, mereka
menjauhkan diri kedaerah yang terpencil misalnya susku tengger di jawa timur
dan suku badui di jawa barat.
2.
Golongan minoritas tidak menyadari dirinya sebagai
kelompok yang kompak.
3.
Golongan
minoritas agama yang memilki kesadran tinggi atas kedudukannya dalam
masyarakat.
4.
Golongan minoritas yang berideologi marxis
menurut catatan sejarah mencetuskan reaksinya terhadap mayoritas dengan cara
tersendiri.[9]
BAB III
ANALISIS TEORI
a.
Analisis agama sebagai faktor konflik di masyarakat
Menuru Afif Muhamad dalam bukunya yang berjudul ‘’Agama dan konflik
sosial’’ dia mengatakan bahwa agama pada dasarnya menunjukan wajah ganda,dia
melihat pada realita dari kehidupan antarumat beragama di dunia. Dia
menginterpretasikan agama memiliki wajah ganda dikarenakan menurutnya agama
adalah satu organisasi yang selalu memproklamirkan perdamaian,tapi disisi lain
agama adalah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan antarumat beragama.
Kita melihat bahwa Afif Muhamad sangatlah rasional dalam memandang realita
keberagaman,karena dia memandang agama dari dua segi yang berbeda. Hal ini
tentunya sangat tidak adil untuk agama jika kita mengatakan bahwa agama adalah
penyebab konflik sosial, satu hal yang perlu kita ketahui bahwa agama adalah
sesuatu yang selalu berdampingan dengan kedamaian sehungga kadang kala agama
dianggap sebagai suatu yang sangatlah maha baik dan maha suci dalam kepercayaan
masing-masing individu. Berarti secarah komprehensif konklusi yang dapat kita
ambil adalah bahwa bukan agama yang menyaebabkan terjadinya konflik sosial
melainkan kefanatikan atas agama itu sendiri sehingga kita sudah tidak mau lagi
secara terbuka menerima dan menghormati agama lain. Disinilah kesalahan dari
Afif Muhamad dalam mengemukakan teorinya, dia hanya memandang agama dari segi
dan sisi aksidennya saja, akan teapi ia tidak memasuki area internal yang
menjadi substansi agama itu sendiri.[10]
b.
Analisis agama dan indikasi konflik
Dalam hal ini kita akan sepakat apabila kita mengatakan bahwa
konflik yang terjadi di akibatkan oleh kesalahpahaman dalam menafsirkan agama,
atau biasa kita sebut dengan perbedaan mazhab. Karena seseorang salah dalam
memahami suatu mazhab maka ia akan dengan mudan memvonis mazhab itu adalah
sesat, diluar ajaran agama dan lain sebagainya. Padahal fatwa yang kita
keluarkan itu adalah berasal dari pemahaman kita yang salah pula.
Kebanyakan dari kita apabila memandang atau memahami sesuatu mazhab
kita selalu menanamkan sikap egois terhadap mazhab tersebut. Keegoisan yang
berasal dari kefanatikan kita sendiri, dan kefanatikan ini sebenarnya dapat
membuat kita hanya terikat dengan satu mazhab saja. Padahal kita kurang
memahami dan bahkan tidak melihatnya dari segi positifnya, dimana mazhab yang
lain itu dapat memberikan bandingan pemahaman terhadap mazhab kita sendiri.
Dengan adanya mazhab-mazhab yang lain maka secara tidak langsung wawasan dan
pengeahuan kita tentang tori keagamaan semakin bertambah, sehingga kita dapat
menjadi seorang agamis yang berwawasan luas. Rasulullah saw pernah mengatakan
bahwa perbedaan diantara umatku itu adalah rahmat, dengan rahmat ini kita dapat
mempelajari seluk beluk kehidupan dari berbagai arah. Sehingga kita pula bisa
menjadi seorang yang terbuka dalam segala hal, tapi dengan satu syarat bahwa
pemahaman yang melenceng dari nilai-nilai tidak boleh kita ambil dan gunakan.
Konflik akan rentan terjadi apabila semua umat beragama menanamkan pada dirinya
sikap seperti ini.
c.
Analisis
perbedaan doktrin dan sikap mental
Perbedaan
doktrin adalah salah satu penyebab konflik sosial antar agama, kebiasaan
orang-orang sekarang adalah selalu
memandang agama lain secara bodoh dan serba salah. Hal ini dalam beberapa
literatur telah membagi dua sikap seperti ini yaitu apologies dan
positive-tesis. Apologies adalah sikap dimana kita memandang agama lain
dengan pandangan dibawah, dalam artian bahwa agma lain selalu berada dibawah
kita tanpa harus melihat sebagian kebenaran yang ada di dalamnya. Kadang dalam
agama lain terdapat nilai-nilai kebenaran yang sengaja kit tidak melihatnya
dikarenakan pemikiran kita bahwa aganma kitalah yang paling benar. Bahkan kita
menganggap bahwa agama kita adalah satu-satunya agama yang paling benar,
padahal masih banyak dari kaum kita yang tidak menjaga nilai-nlai kebenaran
yang telah ada itu. Banyak diantara kita yang sangat sulit menerima kebenaran
dari agama lain, kebenaran yang secara esensial sama dengan kebenaran yang ada
dalam agama kita sendiri. Inilah yang menjadi masalah dalam kehidupan sekarang
ini dimana kehidupan ini sangatlah dipenuhi oleh orgnisasi agama yang sangat
kompleks. Semakin banyak agama muncul di dunia ini maka akan semakin banyak
pula konflik yang akan terjadi,akan tetapi saya harus mengingatkan kembali
bahwa bukanlah agama yang menyebabkanya melainkan suatu keegoisan dan
kefanatikan kita terhadap agama kita sendiri.
Selanjutnya
sikap kedua dari sikap mental keberagaman ini adalah sikap positive-tesis, yang
dapat diartikan sebagai sikap yang selalu menerima kebenaran agama lain dengan
terbuka dan tidak menyerang kitab suci agamanya dengan tujuan yang sangat
buruk. Sikap inilah yang harusnya ada dalam diri setiap umat beragama, karena
secara inheren agama itu selalu menyebarkan perdamaian,kebaikan,dan kerukunan
antar umat beragama.
d.
Analisis perbedaan suku dan ras umat beragama
Perbedaan
suku dan ras merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, Arthur
dalam bukunya mengatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi dalam
peradaban ini. Kita kurang tau mengapa Arthur mengatakan seperti itu namum Max
weber dalam bukunya telah menjelaskan bahwa yang melakukan progresifittas dalam
dunia ini adalah ras kulit putih. Dia berasumsi seperti itu karena jika dilihat
dari sejarahnya maka ras kulit putihlah yang melakukan kemauan dalam dunia ini,
terutama Max melihatnya dari segi ekonomi, karena baginya ras kulit putih telah
menciptakan suatu bangunan dan konstruksi kapitalisme yang dianggapnya sebagai
sesuatu yang sangat membantu dalam segi perekonomian masyarakat.
Max
weber telah menghilangkan nilai keberadaan dari ras kulit hitam secara spontan
tanpa memperhatikan dan menyadari bahwa penilaianya itu hanya dilihat dari satu
segi dan bentuk kehidupan yaitu masalah perekonomian. Mungkin Weber dalam hal
ini tidak meneliti lagi dalam bidang lain yang mungkin saja ras kulit hitamlah
yang telah melakukan progresifitas terhadap dunia ini.
e.
Analisis perbedaan tingkat kebudayan
Agama
adalah salah satu faktor penyebab terbentuknya berbagai kebudyaan dunia seperti
sakarang ini. Agama yang datang dengan sisitem kepercayaan dan berbagai corak
sisitem ritualnya ini telah mengubah manusia menjadi bermacam-macam budaya.
Banyak para antropolog telah membagi budaya menjadi dua yaitu budaya yang
tinggi dan budya yang rendah. Jika budaya merupakan hasil cipta,rasa,karsa
manusia maka kita sangatlah naif apabila kita mengatakan atau membagi budaya
menjadi budaya tinggi dan rendah seperti itu.
Ketika kita mengatakan dan membagi dua
kebudayaan seperti itu maka secara otomatis kita telah menghilangkan nilai
keluasan dan kreativitas sebuah budaya. Kita kurang mengetahui darimana
dasarnya para antropolog mengatakan hal itu,tapi yang jelas bahwa dalam benak
dan pikiran kita tidak ada pembagian seperti itu,sebab pembagian budaya seperti
itu akan membuat konflik diantara umat manusia. Apabila hasil ciptaan kita
diktakan rendah maka kita secara reaktif akan mengalami keresahan
psikologis,dan kemudian akibat yang akan timbul adalah suatu sentimental dan
bahkan akan mengakibatkan terjadinya konflik sosial.
f.
Anlisis masalah mayoritas dan minoritas keberagaman
Masalah mayoritas dan minoritas ini tentunya sudah sangat sering kita
dengarkan atau kita lihat dalam media dan berita-berita konflik sosial. Hal ini
disebabkan karena adanya prasangka atau predjuice dari kelompok mayoritas
maupun sebaliknya. Seperti contoh yang kita lihat di aceh dimana banyak kaum
nasrani yang tidak di ijinkan untuk membangun tempat peribadatan. Kemudian di
Jawa barat tejadi pengrusakan gereja oleh kaum muslim,hal ini dikarenakan
adanya predjuice terhadap kaum minoritas, kemudian setelah adanya predjuice itu
para kaum mayoritas berulang kali melakukan diktatus sehingga kelihatan kaum
mayoritas itu telah menindas kaum minoritas. Banyak konflik sosial ang terjadi
akibat perseturuan kedua kaum ini. Dalam hal ini seharusnya para kaum mayoritas
sebaiknya melakukan proteksi dan perlindungan kepada kaum minoritas dan bukan
sebaliknya. Apabila hal ini telah dilakukan oleh kaum mayoritas maka sangat
tidak mungkin prasangka negatif atau predjuice tadi akan muncul dalam diri
masyarakat.
Predjuice-predjuice
tersebut sebenarnya hanya merupakan suatu kecmasan terhadap kaum lainya karena
diangga akan mengganggu keberadaannya. Oleh karena itu proteksi dari kaum yang
berkuasalah yang harus berperan dalam hl ini. Kemudian hal kedua yang harus
diperhatikan oleh kaum berkuasa adalah penekanan terhadap kaum minoritas,
peneknan ini bisa dalam kehidupan beragama, perekonomian dan lain sebagainya.
Pendiktean terhadap kaum minoritas ataupun sebaliknya haruslah segera
dihilangkan dari dunia ini agar kedamaian antarumat beragama akan selalu
terjagas.
BAB
IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Konflik
yang ada di masyarakat adalah akibat dari ulah manusia sendiri sebagaimana di
jelaskan dalam al-qur’an surat yusuf ayat 5 dan surat al-rum ayat 41 untuk
mencapai pemahaman dalam agama diperlukan dua pendekatan :
Pertama : agama di fahami sebagai suatu doktrin dan ajaran.
Kedua : agama di fahami sebagai aktualisasi dari doktrin.
Agama acap kali menampakkan diri
sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John
Effendi yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan
perdamaian namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang
di anggap garang dan menyebar konflik.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Adian
Husaini, filsafat ilmu, (yogyakarta , IRGIs0d , 2009)
2.
Arif
M, Kerukunan Beragama Pada Era Globalisasi, 1997, Bandung
3.
Betty
R, Schrarf. Sosiologi Agama, Terj. The Sociological Study Of Relegion oleh
Drs. Machnun Husein. Jakarta. 2004
4.
Bdk.
Apologie, encyclopedie I,N. V Standard Boekhandel Antwerpen, Uitg. Het
Spectrum Utrech, p. 299
5.
Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung, 2006
6.
Hendro
Puspito, Sosiologi Agama,Yogyakarta, Kanisius,
7.
Johan
Efendi. Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Mihakun Teologi Kerukunan Dalam
Prisma. Jakarta. 1978
8.
Peter L. Berger, The Social Reality Of Religion,
Penguin Books
9.
R.
Bierstedt. The Social Order. McGraw-Hill Kogusha Lid. Tokyo-Sydney
[1] Arif M, Kerukunan Beragama Pada
Era Globalisasi, 1997, Bandung, hlm. 1
[2] Johan
Efendi. Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Mihakun Teologi Kerukunan Dalam
Prisma. Jakarta. 1978. Hlm. 13
[3] Betty R, Schrarf. Sosiologi
Agama, Terj. The Sociological Study Of Relegion oleh Drs. Machnun Husein.
Jakarta. 2004. Hlm.35
[4] Afifi Muhammad, Op. Cit
[5] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,
Bandung, 2006, hlm. 151-152
[6]Bdk.
Apologie, encyclopedie I,N. V Standard Boekhandel Antwerpen, Uitg. Het
Spectrum Utrech, p. 299
[7] R.
Bierstedt. The Social Order. McGraw-Hill Kogusha Lid. Tokyo-Sydney hlm
69-70
[8] Peter L.
Berger, The Social Reality Of Religion, Penguin Books , hlm 34
[9] Hendro
Puspito, Sosiologi Agama,Yogyakarta, Kanisius, hlm 165-167
[10] Adian
Husaini, filsafat ilmu, (yogyakarta , IRGIs0d , 2009), hlm 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar