Minggu, 16 November 2014

permasalahan muslim barat


PERMASALAHAN MUSLIM BARAT

1.                  Masalah kekakuan dalam wacana fiqhi

            Kita mengetahui bersama mengenai kehidupan muslim di wilayah eropa. Disana para muslim wal muslimat sedang menjalani kehidupan yang amat  kontradiktif . Masa-masa yang membuat mereka menemui suatu kebingungan yang sangat besar. Hal ini dikarenakan oleh modernisasi dan westernisasi barat. Para kaum frank itu memandang para muslim eropa sebagai orang-orang yang terkesan klasik dan kuno bahkan mereka menginterpretasikan kaum muslim sebagai kaum yang menolak kemodernan sebagi ciri khas dari orang-orang eropa. Stateman-stateman yang menyakitkan-pun mulai dilancarkan oleh modernisme, hal ini tentunya membuat para muslim eropa harus kembali mempertanyakan wacana-wacana fiqhi yang begitu konservatif dan bahkan membuat mereka kaku untuk menjalankan kehidupan mereka sebagai bagian dari bangsa yang begitu menjunjung tinggi sains. Dalam bukunya Thariq Ramhadan yang berjudul ‘’Teologi Islam Barat’’ dituliskan bagaimana para kaum modernis mengatakan bahwasanya ‘’apabila kalian ingin dikatakan sebagai eropa maka harus seperti kita’’. Stateman diatas menjelaskan kepada kita bahwa seorang yang memiliki agama apapun ketika mereka telah hidup di negeri itu maka harus mengikuti budaya mereka secara universal, seperti ekonomi,perniagaan,sains,filsafat,dan seni.
            Muslim eropa harus mempertimbangkan lagi hal ini dengan cara merujuk kepada wacana fiqhi yang telah menjadi aturan dalam menjalani kehidupan seorang muslim dalam kesehariannya. Fiqhi yang merupakan suatu pemikiran  atau ijtihadi dari para ulama salaf itu ternyata bagi muslim di eropa telah membuat mereka kaku dan tidak bisa berbuat apa-apa, ibarat seperti seekor untah yang sedang terikat di gurun pasir. Thariq Ramhadan adalah seorang muslim yang berkebangsaan Prancis, dia pernah  mengatakan bahwa ‘’fhiqi tidaklah Islami jika ia kaku’’. Thariq berasumsi bahwa agama Islam adalah agama yang dinamis, ia bisa mengakulturasi berbagai budaya bahkan pemikiran yang berasal dari luar diriya. Sebagai contoh, bagaimana para sarjawan muslim seperti Ibnu Rusyd berusaha menggabungkan pemikiran Ariestoteles dengan pemkiran Islam. Kemudian Kemal attaturk yang berusaha membuat negara sekuler yang merupakan budaya kenegaraan orang-orang barat khususnya Eropa. Inilah bagaimana Islam berusaha menampakan dirinya sebagai agama yang dinamis. Hal ini juga di akui oleh orang-orang Yahudi sebagaimana dalam bukunya Karen Armstrong bahwasanya setelah orang-orang Yahudi diusir dari Eropa mereka lebih memilih untuk tinggal didekat kawasan muslim seperti Palestina dan Afrika utara. Dengan alasan bahwa hanya agama Islam yang dapat menerima kebudayaan dan prinsip-prinsip keagamaan mereka.   
2.                  Solusi bagi muslim barat
            Muhamad Abduh pernah mengeluarkan kata-kata yang berkaitan dengan kekakuan fiqhi bagi muslim barat, akan tetapi ia melihatnya dari segi pembelajaran umat Islam di timur, baginya pembelajaran menghafal seperti yang dilakukan di Universitas Al-azhar adalah metode pembelajaran yang kuno dan tidak bisa membuat umat muslim kritis. Sebab baginya semakin seorang muslim memiliki banyak hafalan dikepalanya maka besar kemungkinan mereka akan menjadi orang-orrang yang fundamentalis bahkan tidak mau menerima apa-apa yang masuk padanya. Bagi Abduh yang terpentting sekarang adalah bagaimana kita umat muslim dapat memecahkan masalah zaman yang begitu kompleks ini dengan pemikiran kita sendiri, akan tetapi harus tetap dibantu dengan hal-hal yang konservatif yang merupakan aksioma pemikiran kita seperti mazhab-mazhab yang telah dibuat oleh ulama kita  yang begitu mulia. Muhamad syahrur adalah tokoh rekonstruksioner Islam, dia mengatakan bahwa yang berhak menafsirkan dan menginterpretasikan Al-quran dan Hadist adalah kita yang hidup di zaman modern ini, menurutnya kaum muslim di zaman ini adalah kaum yang paling banyak mendapatkan masalah-masalah baru, sehingga kita diwajibkan untuk melakukan penafsiran bahkan ijtihadi kita sendiri. Baginya fiqhi yang dibuat oleh ulama-ulama salaf kita terdahulu perlu dilakukan semacam rekonstruksi atau pengkodifikasian dengan pemikiran kita.
            Pengkodifikasian seperti ini tentunya tidaklah mudah, yang pertama kita lakukan adalah kembali merujuk pada stateman Abduh dimana dia menginginkan suatu pembelajaran bagaimana kita umat muslim dapat berfikir kritis agar masalah-masalah yang timbul dapat terselesaikan tanpa harus melihat ke Timur lagi. Inilah yang sangat diinginkan para kaum muslim barat, dimana mereka dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sulit untuk mereka jalani. Mereka dapat menyelesaikan masalah dengan ilmunya masing-masing sehingga apabila seseorang bertanya kepada mereka ‘’apakah kalian muslim ?’’ mereka akan menjawab ‘’ya kami muslim’’ dan apakah kalian termasuk kaum frank ?’’ mereka akan menjawab ‘’ya kami termasuk kaum frank’’. Kebahagiaan seperti inilah yang selalu diidam-idamkan oleh muslim barat, mereka bisa dengan  leluasa dapat menjalankan syari’at Islam sekaligus budaya mereka sebagai orang-orang Eropa. Untuk lebih membantu kaum muslim barat dalam menghadapi masalahnya, Yusuf qhardawi telah membagi ijtihad menjadi 3 bagian penting, hal ini bertujuan agar kaum muslim barat tidak salah kaprah dalam membuat konklusi mengenai masalah-masalah fiqhi yang kerap timbul di negaranya.

3.                  Pembagian ijtihad    
Pebagian ijtihad oleh Yusuf qhardawi ini antara lain adalah sebagai berikut, mari kita  perhatikan penjelasannya.
1.      Pengambilan ijtihad dalam mazhab-mazhab fiqhi yang ada.
Yusuf qhardawi dalam bagian pertama ini dia menjelaskan bahwa pengambilan ijtihad harus berdasar pada mazhab-mazhab fiqhi yang kita kenal dengan mazhab Hanbali, syafi’i, Hanafi, dan Maliki. Keempat Fuqhoha ini adalah orang-orang yang sangat mulia bagi qhardawi, sehingga apabila seorang muslim ingin melakukan proses ijtihad dalam masalah fiqhi maka ia harus segera merujuk pada keempat mazhab ini, dan bila tidak maka ijtihad yang dilakukannya adalah nihil dan bersifat spekulatif. Qhardawi takut jika tidak seperti ini maka wacana fiqhi yang dihasilkan adalah tidak bernilai syari’at (non syari’at velue). Ketika syariat sudah tidak memiliki nilainya lagi sebagai sesuatu yang mengatur kehidupan kaum muslim maka kehancuran agama akan semakin dekat. Akan tetapi ada satu hal penting yang menjadi suatu timbangan dalam melakukan metode yang pertama ini, yaitu masalah yang dihadapi adalah masalah yang sudah pernah dibahas oleh keempat mazhab tersebut maka kita diwajibkan merujuk atasnya.
2.      Pengambilan ijtihad dengan mengkodifikasikan dengan mazhab fiqhi.
Dalam metode yang kedua ini tentunya masih dan sangat diperlukan untuk merujuk pada mazhab fiqhi yang ada. Akan tetapi dalam hal ini bisa di adakan suatu kodifikasi dan penggabungan pemikiran dengan mazhab-mazhab tersebut. Dalam  pengkodifikasian ini tentunya harus diperlukan suatu disiplin ilmu khusus dalam artian kita mengetahui pandangan dari keempat mazhab ini dengan sempurna, kemudian langkah keduanya adalah bagaimana kita dapat memahami dengan jelas dan konfrehensif masalah yang sedang kita hadapi. Kita harus mengkaji masalah itu dari berbagai sudut pandang agar konklusi yang kita buat dapat mengayomi semua masyarakat muslim.
3.      Pengambilan ijtihad atas keputusan yang mandiri
Metode ketiga ini adalah metode yang bisa dikatakan sebagai ijtihad murni dari seorang muslim. Akan tetapi justru metode yang ketiga ini yang sangat dihawatirkan oleh para alim ulama. Jelas dalam hal ini qhardawi menginginkan metode ketiga ini hanya dilakukan oleh orang-orang terpelajar yang telah mengerti masalah fiqhi. Qhardawi membolehkan cara ketiga ini karena ia merujuk pada perkataan nabi bahwasanya ‘’orang yang berijtihad apabila benar maka mendapat pahala dua sedang apabila salah maka ia akan dapat satu pahala’’. Dalam berijtihad itu sebenarnya tidak ada  yang salah karena nabi tidak pernah melarang umatnya untuk melakukan ijtihad  demi keberlangsungan hidup kaum muslim.

            Inilah beberapa pembagian ijtihad oleh Yusuf Qhardawi dalam upayanya untuk membantu kaum muslim barat khususnya. Kemudian untuk lebih meyakinkan hal ini dia mengatakan bahwa ‘’jawaban yang paling ideal bagi seorang mujtahid hanyalah tiga  yaitu, MANDUB,MAKRUH,MUBAH dan bukan HALAL atau HARAM’’. Bagi Qhardawi hanya tiga jawaban itu yang paling ideal sebab sesuatu yang haram dan halal itu telah jelas, karena perkara halal dan haram itu datangnya dari allah swt. Adapun seorang mujtahid  diperbolehkannya untuk menjawab halal atau haram  apabila masalah yang ada telah nampak keharaman dan kehalalannya dan jika tidak nampak semua itu maka tidak diperbolehkan menjawab dengan halal atau haram karena bisa melampaui kehendak tuhan.
            Thariq Ramhadan menjelaskan dan menafsirkan tiga perkara yaitu Mandub,Makruh,dan Mubbah, adalah suatu yang diberikan kepada kita agar kita dapat menggunakan akal dan pikiran kita dalam masalah keduniaan. Maksudnya adalah ketiga perkara itu adalah suatu yang sengaja diberikan kepada kita umat manusia sebagai sesuatu yang  harus kita pikirkan. Thariq Ramhadan kemudian menafsirkan bahwa allah swt diam dalam beberapa hal agar kita umat muslim tidak begitu kesulitan dalam menjalani agamanya. Hal ini terlihat saat nabi Muhammad saw menerima wahyu tentang syariat maka refleksi rasulullah pada saat itu adalah menyuruh para sahabatnya untuk diam dan tidak bertanya lagi, tetapi rasulullah menyuruh mereka untuk berfikir. Rasulullah takut apabila sering mempertanyakan syari’at itu maka akan turun hukum-hukum baru yang akan mengatur kehidupan kaum muslim, dan ini tentunya dapat membuat kita kaum muslim khususnya akan merasa terikat. Bagi rasulullah sebanyak apapun aturan yang diberikan allah swt kepadanya ia sanggup untuk menjalaninya akan tetapi sebagai manusia biasa rasulullah juga sering kali mempertimbangkan hal itu demi kemudahan umatnya. Jadi pada hakikatnya untuk menjawab masalah-masalah yang di diamkan allah maka kita membutuhkan kembali apa yang kita sebut dengan akal. Akal adalah alat kedua dalam meraih kebenaran dimuka bumi ini setelah wahyu, oleh sebab itu Ibnu Rusyd menyatakan bahwa akal adalah salah satu alat yang dapat membimbing manusia.   


                                                        


























  










                      












Tidak ada komentar:

Posting Komentar