PERMASALAHAN MUSLIM BARAT
1.
Masalah
kekakuan dalam wacana fiqhi
Kita
mengetahui bersama mengenai kehidupan muslim di wilayah eropa. Disana para
muslim wal muslimat sedang menjalani kehidupan yang amat kontradiktif . Masa-masa yang membuat mereka
menemui suatu kebingungan yang sangat besar. Hal ini dikarenakan oleh
modernisasi dan westernisasi barat. Para kaum frank itu memandang para muslim
eropa sebagai orang-orang yang terkesan klasik dan kuno bahkan mereka
menginterpretasikan kaum muslim sebagai kaum yang menolak kemodernan sebagi
ciri khas dari orang-orang eropa. Stateman-stateman yang menyakitkan-pun mulai
dilancarkan oleh modernisme, hal ini tentunya membuat para muslim eropa harus
kembali mempertanyakan wacana-wacana fiqhi yang begitu konservatif dan bahkan
membuat mereka kaku untuk menjalankan kehidupan mereka sebagai bagian dari
bangsa yang begitu menjunjung tinggi sains. Dalam bukunya Thariq Ramhadan yang
berjudul ‘’Teologi Islam Barat’’ dituliskan bagaimana para kaum modernis
mengatakan bahwasanya ‘’apabila kalian ingin dikatakan sebagai eropa maka harus
seperti kita’’. Stateman diatas menjelaskan kepada kita bahwa seorang yang
memiliki agama apapun ketika mereka telah hidup di negeri itu maka harus
mengikuti budaya mereka secara universal, seperti
ekonomi,perniagaan,sains,filsafat,dan seni.
Muslim
eropa harus mempertimbangkan lagi hal ini dengan cara merujuk kepada wacana fiqhi
yang telah menjadi aturan dalam menjalani kehidupan seorang muslim dalam
kesehariannya. Fiqhi yang merupakan suatu pemikiran atau ijtihadi dari para ulama salaf itu
ternyata bagi muslim di eropa telah membuat mereka kaku dan tidak bisa berbuat
apa-apa, ibarat seperti seekor untah yang sedang terikat di gurun pasir. Thariq
Ramhadan adalah seorang muslim yang berkebangsaan Prancis, dia pernah mengatakan bahwa ‘’fhiqi tidaklah Islami jika
ia kaku’’. Thariq berasumsi bahwa agama Islam adalah agama yang dinamis, ia
bisa mengakulturasi berbagai budaya bahkan pemikiran yang berasal dari luar
diriya. Sebagai contoh, bagaimana para sarjawan muslim seperti Ibnu Rusyd
berusaha menggabungkan pemikiran Ariestoteles dengan pemkiran Islam. Kemudian
Kemal attaturk yang berusaha membuat negara sekuler yang merupakan budaya
kenegaraan orang-orang barat khususnya Eropa. Inilah bagaimana Islam berusaha
menampakan dirinya sebagai agama yang dinamis. Hal ini juga di akui oleh
orang-orang Yahudi sebagaimana dalam bukunya Karen Armstrong bahwasanya setelah
orang-orang Yahudi diusir dari Eropa mereka lebih memilih untuk tinggal didekat
kawasan muslim seperti Palestina dan Afrika utara. Dengan alasan bahwa hanya
agama Islam yang dapat menerima kebudayaan dan prinsip-prinsip keagamaan
mereka.
2.
Solusi
bagi muslim barat
Muhamad
Abduh pernah mengeluarkan kata-kata yang berkaitan dengan kekakuan fiqhi bagi
muslim barat, akan tetapi ia melihatnya dari segi pembelajaran umat Islam di
timur, baginya pembelajaran menghafal seperti yang dilakukan di Universitas
Al-azhar adalah metode pembelajaran yang kuno dan tidak bisa membuat umat
muslim kritis. Sebab baginya semakin seorang muslim memiliki banyak hafalan
dikepalanya maka besar kemungkinan mereka akan menjadi orang-orrang yang
fundamentalis bahkan tidak mau menerima apa-apa yang masuk padanya. Bagi Abduh
yang terpentting sekarang adalah bagaimana kita umat muslim dapat memecahkan
masalah zaman yang begitu kompleks ini dengan pemikiran kita sendiri, akan
tetapi harus tetap dibantu dengan hal-hal yang konservatif yang merupakan
aksioma pemikiran kita seperti mazhab-mazhab yang telah dibuat oleh ulama
kita yang begitu mulia. Muhamad syahrur
adalah tokoh rekonstruksioner Islam, dia mengatakan bahwa yang berhak
menafsirkan dan menginterpretasikan Al-quran dan Hadist adalah kita yang hidup
di zaman modern ini, menurutnya kaum muslim di zaman ini adalah kaum yang
paling banyak mendapatkan masalah-masalah baru, sehingga kita diwajibkan untuk
melakukan penafsiran bahkan ijtihadi kita sendiri. Baginya fiqhi yang dibuat
oleh ulama-ulama salaf kita terdahulu perlu dilakukan semacam rekonstruksi atau
pengkodifikasian dengan pemikiran kita.
Pengkodifikasian
seperti ini tentunya tidaklah mudah, yang pertama kita lakukan adalah kembali
merujuk pada stateman Abduh dimana dia menginginkan suatu pembelajaran
bagaimana kita umat muslim dapat berfikir kritis agar masalah-masalah yang
timbul dapat terselesaikan tanpa harus melihat ke Timur lagi. Inilah yang
sangat diinginkan para kaum muslim barat, dimana mereka dapat menyelesaikan
masalahnya tanpa harus terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sulit untuk
mereka jalani. Mereka dapat menyelesaikan masalah dengan ilmunya masing-masing
sehingga apabila seseorang bertanya kepada mereka ‘’apakah kalian muslim ?’’
mereka akan menjawab ‘’ya kami muslim’’ dan apakah kalian termasuk kaum frank
?’’ mereka akan menjawab ‘’ya kami termasuk kaum frank’’. Kebahagiaan seperti
inilah yang selalu diidam-idamkan oleh muslim barat, mereka bisa dengan leluasa dapat menjalankan syari’at Islam
sekaligus budaya mereka sebagai orang-orang Eropa. Untuk lebih membantu kaum
muslim barat dalam menghadapi masalahnya, Yusuf qhardawi telah membagi ijtihad
menjadi 3 bagian penting, hal ini bertujuan agar kaum muslim barat tidak salah
kaprah dalam membuat konklusi mengenai masalah-masalah fiqhi yang kerap timbul
di negaranya.
3.
Pembagian
ijtihad
Pebagian ijtihad oleh Yusuf qhardawi ini antara lain
adalah sebagai berikut, mari kita perhatikan
penjelasannya.
1.
Pengambilan ijtihad
dalam mazhab-mazhab fiqhi yang ada.
Yusuf
qhardawi dalam bagian pertama ini dia menjelaskan bahwa pengambilan ijtihad
harus berdasar pada mazhab-mazhab fiqhi yang kita kenal dengan mazhab Hanbali,
syafi’i, Hanafi, dan Maliki. Keempat Fuqhoha ini adalah orang-orang yang sangat
mulia bagi qhardawi, sehingga apabila seorang muslim ingin melakukan proses
ijtihad dalam masalah fiqhi maka ia harus segera merujuk pada keempat mazhab
ini, dan bila tidak maka ijtihad yang dilakukannya adalah nihil dan bersifat
spekulatif. Qhardawi takut jika tidak seperti ini maka wacana fiqhi yang
dihasilkan adalah tidak bernilai syari’at (non syari’at velue). Ketika syariat
sudah tidak memiliki nilainya lagi sebagai sesuatu yang mengatur kehidupan kaum
muslim maka kehancuran agama akan semakin dekat. Akan tetapi ada satu hal
penting yang menjadi suatu timbangan dalam melakukan metode yang pertama ini,
yaitu masalah yang dihadapi adalah masalah yang sudah pernah dibahas oleh
keempat mazhab tersebut maka kita diwajibkan merujuk atasnya.
2.
Pengambilan ijtihad
dengan mengkodifikasikan dengan mazhab fiqhi.
Dalam metode
yang kedua ini tentunya masih dan sangat diperlukan untuk merujuk pada mazhab
fiqhi yang ada. Akan tetapi dalam hal ini bisa di adakan suatu kodifikasi dan
penggabungan pemikiran dengan mazhab-mazhab tersebut. Dalam pengkodifikasian ini tentunya harus diperlukan
suatu disiplin ilmu khusus dalam artian kita mengetahui pandangan dari keempat
mazhab ini dengan sempurna, kemudian langkah keduanya adalah bagaimana kita
dapat memahami dengan jelas dan konfrehensif masalah yang sedang kita hadapi.
Kita harus mengkaji masalah itu dari berbagai sudut pandang agar konklusi yang
kita buat dapat mengayomi semua masyarakat muslim.
3.
Pengambilan
ijtihad atas keputusan yang mandiri
Metode
ketiga ini adalah metode yang bisa dikatakan sebagai ijtihad murni dari seorang
muslim. Akan tetapi justru metode yang ketiga ini yang sangat dihawatirkan oleh
para alim ulama. Jelas dalam hal ini qhardawi menginginkan metode ketiga ini
hanya dilakukan oleh orang-orang terpelajar yang telah mengerti masalah fiqhi.
Qhardawi membolehkan cara ketiga ini karena ia merujuk pada perkataan nabi
bahwasanya ‘’orang yang berijtihad apabila benar maka mendapat pahala dua
sedang apabila salah maka ia akan dapat satu pahala’’. Dalam berijtihad itu
sebenarnya tidak ada yang salah karena
nabi tidak pernah melarang umatnya untuk melakukan ijtihad demi keberlangsungan hidup kaum muslim.
Inilah
beberapa pembagian ijtihad oleh Yusuf Qhardawi dalam upayanya untuk membantu
kaum muslim barat khususnya. Kemudian untuk lebih meyakinkan hal ini dia
mengatakan bahwa ‘’jawaban yang paling ideal bagi seorang mujtahid hanyalah
tiga yaitu, MANDUB,MAKRUH,MUBAH dan
bukan HALAL atau HARAM’’. Bagi Qhardawi hanya tiga jawaban itu yang paling
ideal sebab sesuatu yang haram dan halal itu telah jelas, karena perkara halal
dan haram itu datangnya dari allah swt. Adapun seorang mujtahid diperbolehkannya untuk menjawab halal atau
haram apabila masalah yang ada telah
nampak keharaman dan kehalalannya dan jika tidak nampak semua itu maka tidak
diperbolehkan menjawab dengan halal atau haram karena bisa melampaui kehendak
tuhan.
Thariq Ramhadan menjelaskan dan
menafsirkan tiga perkara yaitu Mandub,Makruh,dan Mubbah, adalah suatu yang
diberikan kepada kita agar kita dapat menggunakan akal dan pikiran kita dalam
masalah keduniaan. Maksudnya adalah ketiga perkara itu adalah suatu yang
sengaja diberikan kepada kita umat manusia sebagai sesuatu yang harus kita pikirkan. Thariq Ramhadan kemudian
menafsirkan bahwa allah swt diam dalam beberapa hal agar kita umat muslim tidak
begitu kesulitan dalam menjalani agamanya. Hal ini terlihat saat nabi Muhammad
saw menerima wahyu tentang syariat maka refleksi rasulullah pada saat itu
adalah menyuruh para sahabatnya untuk diam dan tidak bertanya lagi, tetapi
rasulullah menyuruh mereka untuk berfikir. Rasulullah takut apabila sering
mempertanyakan syari’at itu maka akan turun hukum-hukum baru yang akan mengatur
kehidupan kaum muslim, dan ini tentunya dapat membuat kita kaum muslim
khususnya akan merasa terikat. Bagi rasulullah sebanyak apapun aturan yang
diberikan allah swt kepadanya ia sanggup untuk menjalaninya akan tetapi sebagai
manusia biasa rasulullah juga sering kali mempertimbangkan hal itu demi
kemudahan umatnya. Jadi pada hakikatnya untuk menjawab masalah-masalah yang di
diamkan allah maka kita membutuhkan kembali apa yang kita sebut dengan akal.
Akal adalah alat kedua dalam meraih kebenaran dimuka bumi ini setelah wahyu,
oleh sebab itu Ibnu Rusyd menyatakan bahwa akal adalah salah satu alat yang
dapat membimbing manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar