Minggu, 16 November 2014

mulla sadra


Pendahuluan

Latar Belakang

            Dalam sejarah peradaban Islam kita sering dikenalkan dengan berbagai pemikiran tokoh-tokoh Islam yang sangat membantu dalam proses majunya peradaban Islam. Pemikiran-pemikiran Islam ini tidak lepas dari pemikiran tokoh-tokoh yunani seperti Aristoteles dan Plato. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat pemikiran Islam mengenai hikmah al-Muta’aliyyah dan wujud. Filsafat wujud ini sebenarnya telah dikemukakan secara eksplisit oleh berbagai tokoh Islam seperti al-Farabi, ibnu rusyd, dan At-thusi. Akan tetapi dalam makalah ini penulis akan lebih menengahkan dan membahas pemikiran ‘’Mula Sadra’’ tentang Hikmah al-Muta’alliyah-nya dan Filsafat wujudnya. Mulla Sadra adalah tokoh yang menggabungkan semua pemikiran pendahulunya, bahkan dia terkenal di dunia barat sebagai filosof sintesa. Mula Sadra telah mengembangkan sebuah penyatuan antara tradisi mistik ’’sufi atau Iluminasionis dengan pengaruh-pengaruh Neoplatonik’’.[1]

            Mula Sadra adalah filsuf muslim yang masih mempertahankan tradisi sufisme dengan menggabungkan tradisi rasionalitas para filosof. Iluminasionis para sufi menurut Mula sadra harus di sandarkan pada rasionalitas dan begitupun sebaliknya. Kemudian dia juga beranggapan bahwa wujud adalah realitas sesungguhnya dan bukan mahiyah atau esensi. Mula Sadra juga telah mengungkapkan hakikat hikmah yang baginya kita harus membedakan antara tingkatan pemahaman dan realitas eksternal, secara rasional dan sadar. Mereka membedakan sejelas-jelasnya antara keduanya dan tidak mengaburkan keduanya pula. Oleh
karena itu jika mengaburkannya dilakukan dengan tidak sadar maka akan berdampak pada kesalahpahaman, dan apabila dilakukan dengan sadar maka akan terjadi suatu kesesatan berfikir yang sangat parah. Oleh karena itu untuk lebih jelasnya marilah kita melihat bagian pembahasan makalah ini.   



Pembahasan

Biografi
            Mula Sadra bernama lengkap Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi. Dia mempunyai gelar sadr al-din dan dia lebih populer dengan nama Mula Sadra. Dia terkenal dengan sebutan Sadr al-Muta’alihin dikalangan murid-muridnya, dan pengikutnya disebut Akhun. Mula Sadra lahir di syiraz pada tahun 979-980 HP/ 1571-72 M. Bapaknya beranama Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi Fars dan beliau adalah orang yang sangat cerdas dan saleh, dan secara sosial politik ia memiliki kedudukan yang istimewa dikota asalnya.[2]

            Mula Sadra adalah satu-satunya anak laki-laki dari sebuah keluarga mampu yang sangat menanti-nantikan anak lelaki.[3] Mulla Sadra tumbuh dengan memperoleh banyak perhatian dan juga pendidikan yang terbaik di kotanya. Sebagai sorang anak yang cerdas , dia mampu menguasai semua disiplin ilmu dan dia juga telah memperlihatkan tingkat kesolehan yang tinggi . Mulla Sadra menguasai bahasa Arab dan Persia yang amat kuat , menghafal Quran dan hadist serta mengetahui fiqhi . Setelah belajar di kota syiraz dia  pergi ke kota isfahan , yang menjadi pusat intelektual persia pada waku itu dan bahkan mungkin menjadi pusat intelektual dunia timur islam secara konfrehenship.[4]
Dikota isfahan dia belajar dibawah bimbingan dua orang guru yaitu syaikh baha’al-bin al-amili dan mirdamat . meskipun dia berasal dari jabal’ amil di Libanon dan baru belajar bahasa persia pada usia 12 tahun namu dia telah berhasil membuat karya puisi yang sangat indah.  


Mula Sadra dengan penuh semangat kepda Syaikh baha’i namu hampir secara khusus
dalam ilmu-ilmu keaagamaan (Al-ulum , Al-nakqliyyah).[5] Kemudian Mulla Sadra mulai menjalani kehidupan asketik dan pensucian diri dan selanjutnya dia pindah menuju Kahak. Hal ini dilatar belakangi sebab pada zamannya banyak orang yang sudah meninggalkan hal-hal terpuji, dan juga dia merasa bosan dengan kehidupan duniawi. Menurutnya watak dunia selalu tidak pasti dan membuat kegelisahan yang berlebihan, Alhasil adalah Mulla Sadra menemukan kebenaran baru yang belum pernah dia ketahui yang didapatinya secara langsung dari proses intuitif dan menyendiri itu. Akhirnya setelah Mulla Sadra mendapatkan kepuasan yang telah lama dicarinya karena dulu dia mengalami patah hati dan ketidakpuasan maka sekarang dia mencapai keteguhan hati dan memiliki semangat baru yang memotifasi dirinya untuk keluar daru pengasingan diri dan akhirnya menulis sebuah karya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah.[6]

Pada akhirnya Mulla Sadra setelah menyelesaikan pengasingan dirinya itu, dan kembali ke shiraz  untuk mengajarkan ilmunya disana. Ditempat kelahirannya itu dia banyak menulis karya-karyanya yang sangat luar biasa, sehingga banyak orang mulai tertarik dengan pemikiran-pemikirannya baik yang datang dari dekat maupun jauh. Namun hal yang perlu kita ingat bahwa pada masa itu Mulla Sadra bersikap untuk tidak mempedulikan imbalan yang diberikan kepadanya dan menolak menulis karangan yang berkaitan dengan penguasa yang pada saat itu hal tersebut telah menjadi sesuatu yang umum dikotanya. Karena sikapnya yang tidak ingin mengambil imbalan maka banyak para pesaing-pesaingnya yang mulai menyerangnya dengan berbagai cara. Mulla Sadra mengajarkan ilmunya di sekolah yang dibangun oleh Allahwirdi Khan di Shirazi, karena institusi ini jauh dari suasana politik dan kemegahan ibukota.


Akhirnya sekolah khan itu diminati banyak orang sampai-sampai  Thomas Herbert seorang wisatawan mengatakan bahwa ‘’sesungguhnya di Shiraz ada sekolah yang mengajarkan filsafat dan ilmu lainnya sehingga lembaga ini terkenal diseluruh penjuru Persia’’.
Selama 30 tahun hidup di shiraz, Mulla Sadra sering melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah, sehingga tak heran selama kurun waktu itu Mulla Sadra telah menunaikan haji sebanyak tujuh kali, dengan berjalan kaki. Akhirnya setelah melaksanakan haji yang ketujuh kalinya Mulla Sadra menderita sakit saat berada di Basrah yang ketika itu tujuanya adalah kembali ke Shiraz. Karena penyakitnya bertambah parah Mulla Sadra akhirnya meninggal di daerah itu pada tahun 1050 H/ 1640 M.

Hikmah

Sebelum membahas masalah hikmah al-muta’aliyyah marilah kita sejenak mengetahui terlebih dahulu apa arti dari hikmah itu sendiri. Kata al-Hikmah telah disebutkan sebanyak 20 kali dalam al-Quran al-Karim, dan yang paling banyak disebutkan dalam QS, al-Baqarah ayat 269, yang artinya: ‘’allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya, dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang sangat banyak’’.[7] Sebenarnya pemaknaan mengenai hikmah  ini bagi para mutakallimin,sufi dan para filosof sangatlah berbeda, akan tetapi kebanyakan ulama sepakat bahwa istilah hikmah tersebut adalah filsafat. Dari sinilah muncul berbagai cabang ilmu seperti al-Hikmah al-Ilahiyyah,atau al-Falsafah al-Ula. Ibnu Sina seorang filosof muslim mendefinisikan hikmah atau filsafat sebagai:’’kesempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi terhadap berbagai persoalan dan pembenaran terhadap realitas teoritis maupun praktis sesuai kemampuan manusia.[8] Baginya seorang hakim adalah orang yang mngetahui ilmu teoritis dan juga konsep-konsep spiritual, sehingga seorang hakim dapat mengetahui realitas yang sebenarnya.




Realitas tidak bisa hanya disandarkan pada aspek rasionalitas akan tetapi harus ada sebuah penghayatan spiritual yang menunjang akan hal itu. Penambahan aspek penghayatan spiritual dapat membawa kita pada sikap asketis yang dapat menjaga kelencengan atau pembelokan cara berfikir rasional kita.Inilah mengapa para filosof muslim sepakat dengan pengertian ini, dan juga dengan pengertian ini seorang Mulla Sadra mengembangkan teori hikmah al-Muta’aliyyah-nya, dengan menyatukan filsafat dan aspek penghayatan spiritual.

Karya-Karya Mulla Sadra

            Karya-karya Mulla Sadra berkisar dari yang sangat monumental dan juga ada sekedar risalah-risalah kecil. Jumlah karya mulla Sadra ada sekitar 41 risalah, dan semuanya telah dicetak dalam literatur Iran pada seabad yang lalu. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan dirincikan 5 karyanya saja. Berdasarkan sumber-sumber yang ada, karyanya dapat dirincikan sebagai berikut:
1.al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah.
            Tulisan ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1282 H, di Teheran. Tulisan-nya ini adalah tulisan yang paling utama diantara sekian banyak karyanya. Karya ini membahas mengenai  semua pesoalan yang telah dibahas oleh para filosof sebelumnya beserta dengan sintesis yang dia kemukakan.

2.al-Mabda Wa al-Ma’ad
            Karya ini di terbitkan di Teheran pada tahun 1314 H yang membahas masalah metafisika, kosmogoni, dan eskatologi, yang terdiri atas 370 hlaman dalam ukuran sedang.

3.al-Syawahid al-Ruhubiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah
            Diterbitkan di Teheran pada tahun 1286 H. Karya ini membahas tentang doktrin gnostik dan filosofis tetapi tidak merujuk pada pndapat pendahulunya dan terdiri atas 286 halaman dalam format sedang.






4.Mafatih al-Gaib
            Titerbitkan di Teheran tahun 1282 H, tulisannya ini membahas tentang doktrin-doktrin irfani atas kosmologi,eskatologi, dan metafisika, yang terdiri atas 173 halaman.
5. kitab al-Masya’ir
            Terbit pada tahun 1315 H, di Teheran, membicarakan masalah sinopsis dari pandangan ontologisnya, karena terkumpul fondasi filosofis didalamnya, dan terdiri atas 108 halaman.[9]

Hikmah al-Muta’aliyyah
            Hikmah al-Muta’aliyyah adalah salah satu pemkiran Mulla Sadra yang pertama, dimana dalam pemikirannya ini dia berusaha membuat suatu sintesa pemikiran para pendahulunya dengan pemikiranya sendiri. Dalam pemikiran ini Mulla Sadra memasukan unsur-unsur doktrinal yang bersifat inspiratif dan intuitif yang merupakan hasil iluminasi yang mentransformasikan ide-ide baru sehingga terbentuk suatu pemahaman metafisika yang baru. Jadi sangatlah jelas bahwa ada tiga fundasi berdirinya pemikiran ini diantaranya yaitu, intuisi intelektual, penalaran dan pembuktian rasional, dan yang ketiga adalah agama dan wahyu.[10] Didalamnya terihat dengan jelas keterpaduan antara irfani, filsafat, dan agama. Irfani sebagai hasil dari iluminasi yang didapatkan dari pensucian diri dan jiwa, dan pembuktian rasional dan filsafat terkait dengan al-Quran dan Hadist Nabi serta ajaran para imam. Mulla Sadra berasumsi bahwa untuk mencapai pengetahuan yang tinggi maka harus ada konsep Kasyf, yang di topang oleh wahyu, dan tidak bertentangan dengan Burhani.[11]

            Mulla Sadra dalam sejarah kehidupannya seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada mulanya dia disibukan dengan buku-buku yang diskurtif sehingga dia merasa pengetahuannya luas dan tinggi.


Akan tetapi disisi lain dia merasa terdapat suatu kekosongan dalam dirinya mengenai ilmu yang sejati, sehingga baginya perlu ada suatu konsep Zauqh, dan Wijdan. Mulla Sadra mengakui bahwa masalah ketuhanan baru bisa dipahami setelah dasar-dasar pemikiran atau konsep fumdamental-nya dipahami lebih dulu, pemahaman ini bisa dilalui dengan dua cara: pertama yaitu melalui intuisi intelektual gerak cepat dan yang kedua melalui pemahaman konseptual atau gerak lambat. Para nabi biasanya mendapatkan pengetahuan sejati melalui proses pertama dan yang kedua biasanya dilakukan oleh para ilmuan, ahli pikir dan mereka yang menggunakan rasionalitas.[12] Mulla Sadra menginginkan ada penggabungan antara kedua metode ini, agar dalam mendapatkan pengetahuan kita bisa mendapatkan pengetahuan yang  murni dan sejati.

            Mulla Sadra menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan tingkat pewahyuan atau kewalian sekalipun tidak bisa diterima oleh keputusan akal, namunharus diingat bahwa jika hanya mengandalkan akal semata pengetahuan semacam itu kemungkinan tidak bisa dijangkau. Oleh karena itu baginya kita harus dapat membedakan sesuatu yng tidak bisa dijangkau oleh akal dan yang mustahil bagi akal. Menurutnya untuk mengukur kebenaran akal dan untuk menghindari dari kesalahan rasional maka kita membutuhkan wahyu, olehnya lebih lanjut dia mengatakan bahwa hikmah itu tidak bisa di terima jika tidak mendasarkanya pada agama. Dan seseorang yang tidak mengetahui hakikat akan segala sesuatu bukan seorang ahli hikmah bagi Mulla Sadra.[13] Lanjutnya bahwa untuk menemukan kebenaran kita tidak cukup hanya bersandar pada agama saja, akan tetapi kita harus melakukan penyelidikan dan penalaran yang tinggi, sebab baginya tdak ada tempat kebenaran agama ataupun tempat bersandarnya kecuali hanya pada penalaran tersebut.   
           
            Kemudian berbicara masalah akal maka kita juga tidak bisa tidak bersandar pada agama dan wahyu, sebab akal akan terbatas fungsinya jika tidak dipadukan dengan wahyu.



Sehingga Mulla Sadra berusaha mengkombinasikan keduanya dengan tanpa meninggalkan salah satunya. Inilah proses sintesa yang diberikan Mulla Sadra dalam pemikiranya, sebab baginya agama yang benar tidak akan memberikan hukum-hukum yang bertentangan dengan pengetahuan yang meyakinkan dan pasti. Agama yang disertai dengan akal adalah cahaya diatas cahaya.[14] Dengan pemikiran semacam inilah maka Mulla Sadra di katakan oleh banyak pemikir Islam sebagai seorang yang mentransformasikan bentuk-bentuk pemikiran yang lama kedalam pemikiran yang baru dan segar, bahkan pemikiran Mulla Sadra ini banyak mendapat tanggapan positif dari berbagai filosofis muslim. Kemudian dengan pemikiran ini maka Mulla Sadra berusaha menjelaskan semua masalah dengan logis dan tidak bertentangan dengan hati. Hal ini terbukti dengan rasionalitas yang ditunjukanya demi membuktikan pengetahuan dari visi spiritualitas.

Filsafat Wujud Mulla Sadra

            Dalam filsafatnya Mulla Sadra dia membedakan antara wujud dan realitasnya. Menurutnya bahwa masalah wujud adalah sumber yang sekaligus pusat dari semua metafisika, oleh karena itu jika seseorang tidak mengetahui masalah wujud maka dia pula tidak mengetahui masalah metafisika secara keseluruhan. Dalam hal ini Mulla sadra telah menetapkan dua proposisi diantaranya yaitu: 1. Wujud tidak memerlukan pembuktian, karena ia sudah terbukti dengan sendirinya. 2. Wujud tidak bisa didefinisikan. Kedua hal ini saling berkaitan satu sama lain, sebab jika wujud tidak memerlukan pembuktian maka wujud pula sangat janggal apabila didefinisikan. Bagi Mula sadra walaupun wujud bersifat apriori atau pasti akan tetapi akal atau fikiran telah memahami konsep wujud tetapi belum secara universal. Oleh sebab itu untuk menjelaskan ketidak jelasan pemahaman itu mulla sadra mengusulkan cara penyelidikan dengan menganalisa makna wujud dalam termenologhi yang lebih jelas.




            Dalam penyelidikan Mulla sadra, hakekat wjud menurutnya terbagi menjadi dua pandangan: yang pertama Wujud yang lebih abstrak dan yang kedua adalah Konseptual. Wujud dalam arti abstrak adalah bahwa wujud itu terdapat pada semua yang mawujud, sebab wujud hanya menandakan keberadaan bagi yang maujud, apabila yang wujud tidak ada dalam maujud maka kata keberadaan mawujud juga tidak ada. Kemudian wujud dalam arti konseptual adalah sebagaimana yang diakui oleh kaum parepatetik bahwa wujud pada hakekatnya adalah wujud dari sesuatu, dan tidak ada yang lebih rill selain wujud itu sendiri.[15]
 Dalam pemahaman Mulla sadra wujud merupakan sifat yang umum pada seluruh yang ada, tetapi kemudian wujud pada yang ada itu berbeda-beda, Wujud bagi mulla sadra tidak terdapat dalam pikiran karena esensi wujud ia berada pada dunia external, sebab jika wujud berada pada fikiran maka berarti konsep “ADA” telah hilang, sementara dalam pembahasn sebelumnya mulla sadra berasumsi bahwa wujud menandakan tingkat keberadaan akan sesuatu.

           








KESIMPULAN

Mulla Sadra adalah tokoh yang berusaha menyintesiskan pemikiran-pemikiran pendahulunya mengenai penalaran rasional dengan konsep iluminasi yang dikemas dalam Hikmah Al- Mutaalliyahnya. Dalam pemikirannya ini dia berusaha menggabungkan antara agama, filsafat, dengan konsep Zauqh atau Israqih. Bagi Mulla sadra ketiga hal ini saling membuktikan kebenaran dan tidak bertentangan satu sama lain. Oleh karna itu kita harus dapat membedakan mana yang mustahil bagi akal dan mana yang tidak bisa dijangkau oleh akal.  Agama dan Wahyu bagi Mulla sadra adalah bukan sesuatu yang mustahil bagi akal, akan tetapi ia belum bisa dijangkau oleh akal. Sebaliknya jika agama dan wahyu tidak bersandar pada rasionalitas maka agama itu akan terkesan meninggalkan keyakinan terhadap ilmu yang pasti, sebab agama yang disandarkan pada penalaran merupakan cahaya diatas cahaya.
Pemikiran Mulla Sadra yang kedua adalah Filsafat Wujudnya, Wujud dalam pandangan mulla sadra ada dua hal yakni wujud abstrak dan wujud konseptual. Mulla sadra tidak sependapat dengan para filosofis yang menyatakan bahwa wujud merupakan hasil abstraksi mental dari suatu pemikiran. Pemikiran seperti ini baginya telah menghilangkan konsep “ada’ pada wujud, hal yang perlu diketahui adalah wujud itu menandakan keberadaan sesuatu dan wujud secara universal merupakan esensi yang terdapat dalam sesuatu yang ada, maka apabila wujud dikatakan hanya berada dalam fikiran maka dia tidak memenuhi sarat yang ada.













DAFTAR PUSTAKA


Al-quran al-Karim
Blackburn, simon, 2013. Kamus Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Nur, Syaifan, 2002. Filsafat wujud Mulla Sadra, Yogyakarta: Pustaka pelajar

















[1]Simon Blackburn, kamus Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), hal. 530






[2] Seyed Hossein Nasr, Sadr Al-Din shirazi  , hal. 31 dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mula Sadra , hal . 43
[3] Diberitakan bahawa karena Ayahnya tidak memilki anak Laki-Laki sehingga dirinya berjanji akan membantu farkir miskin dan ahli ilmu jika ia mendapat anak Lelaki dari ALLAH SWT. Lihat Syaid Abu al-Hasan Husaini Qazwini, The Life Of Sadra Al-Muta’alihin,  dalam Seyed Hossein Nasr, yadnama Mula Sadra, Hal. 7, dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 44
[4]Syaifan Nur,   Filsafat wujud Mula Sadra , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 44





[5] Diberbagai tempat dalam Shar al-Usul min al- Kafi, Mulla Sadra menyatakan kesaksiannya tentang hal ini. Secara jujur dia menyatakan bahwa dalam ilmu-ilmu keagamaan dia mengambil dan memperoleh dukungan dari Syaikh al-Baha’i. Lihat Mulla Sadra, Syar al-Usul min al-Kafi, h. 12,16,126,324. Sebagaimana dikutip oleh Muhsin Bidarfar dalam pendahulunya terhadap Mulla Sadra, Tafsir al-Quran al-Karim, J.I, h. 87-88, dalam Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, hal. 46
[6]Fazlur Rahman, The Philoshophy  of Mulla Sadra, (Albany: State Univercity of New York Press), hal. 3, dalam Syaifan Nur, Filsafat ujud Mulla Sadra, hal. 49.





[7] Al-Baqarah ayat 269
[8]Ibnu sina, Uyun al-Hikmah, (Kairo: t.p.,1326 H), hal. 30 , dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra,  hal. 100.





[9]Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), hal. 61-62.
[10]Lihat Seyed Hossein Nasr, Sadr  al-Din Shirazi,  hal. 88, dalam Syaifan Nur,  Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 122
[11] Pernyataan Mulla Sadra dalam kitab al-Masya’ir, dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 123 .



[12] Lihat Mulla Sadra,  Tafsir al-Quran al-Karim, j. VI, hal.  204, dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 124
[13] Lihat Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyyah, j. V, hal. 205,dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 125.




[14] Ibid.,hal 125




[15] Ibid., hal. 157.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar