Pendahuluan
Latar Belakang
Dalam sejarah peradaban Islam kita
sering dikenalkan dengan berbagai pemikiran tokoh-tokoh Islam yang sangat
membantu dalam proses majunya peradaban Islam. Pemikiran-pemikiran Islam ini tidak
lepas dari pemikiran tokoh-tokoh yunani seperti Aristoteles dan Plato. Dalam
makalah ini penulis akan mengangkat pemikiran Islam mengenai hikmah
al-Muta’aliyyah dan wujud. Filsafat wujud ini sebenarnya telah dikemukakan
secara eksplisit oleh berbagai tokoh Islam seperti al-Farabi, ibnu rusyd, dan
At-thusi. Akan tetapi dalam makalah ini penulis akan lebih menengahkan dan
membahas pemikiran ‘’Mula Sadra’’ tentang Hikmah al-Muta’alliyah-nya dan
Filsafat wujudnya. Mulla Sadra adalah tokoh yang menggabungkan semua
pemikiran pendahulunya, bahkan dia terkenal di dunia barat sebagai filosof
sintesa. Mula Sadra telah mengembangkan sebuah penyatuan antara tradisi mistik
’’sufi atau Iluminasionis dengan pengaruh-pengaruh Neoplatonik’’.[1]
Mula Sadra adalah filsuf muslim yang
masih mempertahankan tradisi sufisme dengan menggabungkan tradisi rasionalitas
para filosof. Iluminasionis para sufi menurut Mula sadra harus di sandarkan
pada rasionalitas dan begitupun sebaliknya. Kemudian dia juga beranggapan bahwa
wujud adalah realitas sesungguhnya dan bukan mahiyah atau esensi. Mula
Sadra juga telah mengungkapkan hakikat hikmah yang baginya kita harus
membedakan antara tingkatan pemahaman dan realitas eksternal, secara rasional
dan sadar. Mereka membedakan sejelas-jelasnya antara keduanya dan tidak mengaburkan
keduanya pula. Oleh
karena itu jika
mengaburkannya dilakukan dengan tidak sadar maka akan berdampak pada
kesalahpahaman, dan apabila dilakukan dengan sadar maka akan terjadi suatu
kesesatan berfikir yang sangat parah. Oleh karena itu untuk lebih jelasnya
marilah kita melihat bagian pembahasan makalah ini.
Pembahasan
Biografi
Mula Sadra bernama lengkap Muhammad
bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi. Dia mempunyai gelar sadr al-din
dan dia lebih populer dengan nama Mula Sadra. Dia terkenal dengan sebutan Sadr
al-Muta’alihin dikalangan murid-muridnya, dan pengikutnya disebut Akhun.
Mula Sadra lahir di syiraz pada tahun 979-980 HP/ 1571-72 M. Bapaknya beranama
Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, beliau pernah menjabat sebagai Gubernur
Provinsi Fars dan beliau adalah orang yang sangat cerdas dan saleh, dan secara
sosial politik ia memiliki kedudukan yang istimewa dikota asalnya.[2]
Mula Sadra adalah satu-satunya anak
laki-laki dari sebuah keluarga mampu yang sangat menanti-nantikan anak lelaki.[3]
Mulla Sadra tumbuh dengan memperoleh banyak perhatian dan juga pendidikan yang
terbaik di kotanya. Sebagai sorang anak yang cerdas , dia mampu menguasai semua
disiplin ilmu dan dia juga telah memperlihatkan tingkat kesolehan yang tinggi .
Mulla Sadra menguasai bahasa Arab dan Persia yang amat kuat , menghafal Quran
dan hadist serta mengetahui fiqhi . Setelah belajar di kota syiraz dia pergi ke kota isfahan , yang menjadi pusat
intelektual persia pada waku itu dan bahkan mungkin menjadi pusat intelektual
dunia timur islam secara konfrehenship.[4]
Dikota
isfahan dia belajar dibawah bimbingan dua orang guru yaitu syaikh baha’al-bin
al-amili dan mirdamat . meskipun dia berasal dari jabal’ amil di Libanon dan
baru belajar bahasa persia pada usia 12 tahun namu dia telah berhasil membuat
karya puisi yang sangat indah.
Mula
Sadra dengan penuh semangat kepda Syaikh baha’i namu hampir secara khusus
dalam ilmu-ilmu
keaagamaan (Al-ulum , Al-nakqliyyah).[5]
Kemudian Mulla Sadra mulai menjalani kehidupan asketik dan pensucian diri dan
selanjutnya dia pindah menuju Kahak. Hal ini dilatar belakangi sebab pada
zamannya banyak orang yang sudah meninggalkan hal-hal terpuji, dan juga dia
merasa bosan dengan kehidupan duniawi. Menurutnya watak dunia selalu tidak
pasti dan membuat kegelisahan yang berlebihan, Alhasil adalah Mulla Sadra
menemukan kebenaran baru yang belum pernah dia ketahui yang didapatinya secara
langsung dari proses intuitif dan menyendiri itu. Akhirnya setelah Mulla Sadra
mendapatkan kepuasan yang telah lama dicarinya karena dulu dia mengalami patah
hati dan ketidakpuasan maka sekarang dia mencapai keteguhan hati dan memiliki
semangat baru yang memotifasi dirinya untuk keluar daru pengasingan diri dan
akhirnya menulis sebuah karya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi
al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah.[6]
Pada
akhirnya Mulla Sadra setelah menyelesaikan pengasingan dirinya itu, dan kembali
ke shiraz untuk mengajarkan ilmunya
disana. Ditempat kelahirannya itu dia banyak menulis karya-karyanya yang sangat
luar biasa, sehingga banyak orang mulai tertarik dengan pemikiran-pemikirannya
baik yang datang dari dekat maupun jauh. Namun hal yang perlu kita ingat bahwa
pada masa itu Mulla Sadra bersikap untuk tidak mempedulikan imbalan yang
diberikan kepadanya dan menolak menulis karangan yang berkaitan dengan penguasa
yang pada saat itu hal tersebut telah menjadi sesuatu yang umum dikotanya. Karena
sikapnya yang tidak ingin mengambil imbalan maka banyak para pesaing-pesaingnya
yang mulai menyerangnya dengan berbagai cara. Mulla Sadra mengajarkan ilmunya
di sekolah yang dibangun oleh Allahwirdi Khan di Shirazi, karena institusi ini
jauh dari suasana politik dan kemegahan ibukota.
Akhirnya sekolah
khan itu diminati banyak orang sampai-sampai Thomas Herbert seorang wisatawan mengatakan
bahwa ‘’sesungguhnya di Shiraz ada sekolah yang mengajarkan filsafat dan ilmu
lainnya sehingga lembaga ini terkenal diseluruh penjuru Persia’’.
Selama
30 tahun hidup di shiraz, Mulla Sadra sering melaksanakan ibadah haji ke tanah
suci Mekah, sehingga tak heran selama kurun waktu itu Mulla Sadra telah
menunaikan haji sebanyak tujuh kali, dengan berjalan kaki. Akhirnya setelah
melaksanakan haji yang ketujuh kalinya Mulla Sadra menderita sakit saat berada
di Basrah yang ketika itu tujuanya adalah kembali ke Shiraz. Karena penyakitnya
bertambah parah Mulla Sadra akhirnya meninggal di daerah itu pada tahun 1050 H/
1640 M.
Hikmah
Sebelum
membahas masalah hikmah al-muta’aliyyah marilah kita sejenak mengetahui
terlebih dahulu apa arti dari hikmah itu sendiri. Kata al-Hikmah telah
disebutkan sebanyak 20 kali dalam al-Quran al-Karim, dan yang paling banyak
disebutkan dalam QS, al-Baqarah ayat 269, yang artinya: ‘’allah memberikan hikmah
kepada siapa yang dikehendakinya, dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh
telah diberi kebajikan yang sangat banyak’’.[7]
Sebenarnya pemaknaan mengenai hikmah ini bagi para mutakallimin,sufi dan para
filosof sangatlah berbeda, akan tetapi kebanyakan ulama sepakat bahwa istilah hikmah
tersebut adalah filsafat. Dari sinilah muncul berbagai cabang ilmu seperti al-Hikmah
al-Ilahiyyah,atau al-Falsafah al-Ula. Ibnu Sina seorang filosof
muslim mendefinisikan hikmah atau filsafat sebagai:’’kesempurnaan jiwa manusia
melalui konseptualisasi terhadap berbagai persoalan dan pembenaran terhadap
realitas teoritis maupun praktis sesuai kemampuan manusia.[8]
Baginya seorang hakim adalah orang yang mngetahui ilmu teoritis dan juga
konsep-konsep spiritual, sehingga seorang hakim dapat mengetahui realitas yang
sebenarnya.
Realitas
tidak bisa hanya disandarkan pada aspek rasionalitas akan tetapi harus ada
sebuah penghayatan spiritual yang menunjang akan hal itu. Penambahan aspek
penghayatan spiritual dapat membawa kita pada sikap asketis yang dapat menjaga
kelencengan atau pembelokan cara berfikir rasional kita.Inilah mengapa para
filosof muslim sepakat dengan pengertian ini, dan juga dengan pengertian ini
seorang Mulla Sadra mengembangkan teori hikmah al-Muta’aliyyah-nya, dengan
menyatukan filsafat dan aspek penghayatan spiritual.
Karya-Karya
Mulla Sadra
Karya-karya Mulla Sadra berkisar
dari yang sangat monumental dan juga ada sekedar risalah-risalah kecil. Jumlah karya
mulla Sadra ada sekitar 41 risalah, dan semuanya telah dicetak dalam literatur
Iran pada seabad yang lalu. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan dirincikan
5 karyanya saja. Berdasarkan sumber-sumber yang ada, karyanya dapat dirincikan
sebagai berikut:
1.al-Hikmah
al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan
pada tahun 1282 H, di Teheran. Tulisan-nya ini adalah tulisan yang paling utama
diantara sekian banyak karyanya. Karya ini membahas mengenai semua pesoalan yang telah dibahas oleh para
filosof sebelumnya beserta dengan sintesis yang dia kemukakan.
2.al-Mabda Wa
al-Ma’ad
Karya
ini di terbitkan di Teheran pada tahun 1314 H yang membahas masalah metafisika,
kosmogoni, dan eskatologi, yang terdiri atas 370 hlaman dalam ukuran sedang.
3.al-Syawahid
al-Ruhubiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah
Diterbitkan di Teheran pada tahun
1286 H. Karya ini membahas tentang doktrin gnostik dan filosofis tetapi tidak
merujuk pada pndapat pendahulunya dan terdiri atas 286 halaman dalam format
sedang.
4.Mafatih
al-Gaib
Titerbitkan di Teheran tahun 1282 H,
tulisannya ini membahas tentang doktrin-doktrin irfani atas
kosmologi,eskatologi, dan metafisika, yang terdiri atas 173 halaman.
5. kitab
al-Masya’ir
Terbit pada tahun 1315 H, di
Teheran, membicarakan masalah sinopsis dari pandangan ontologisnya, karena
terkumpul fondasi filosofis didalamnya, dan terdiri atas 108 halaman.[9]
Hikmah
al-Muta’aliyyah
Hikmah al-Muta’aliyyah adalah salah
satu pemkiran Mulla Sadra yang pertama, dimana dalam pemikirannya ini dia
berusaha membuat suatu sintesa pemikiran para pendahulunya dengan pemikiranya
sendiri. Dalam pemikiran ini Mulla Sadra memasukan unsur-unsur doktrinal yang
bersifat inspiratif dan intuitif yang merupakan hasil iluminasi yang
mentransformasikan ide-ide baru sehingga terbentuk suatu pemahaman metafisika
yang baru. Jadi sangatlah jelas bahwa ada tiga fundasi berdirinya pemikiran ini
diantaranya yaitu, intuisi intelektual, penalaran dan pembuktian rasional, dan
yang ketiga adalah agama dan wahyu.[10] Didalamnya
terihat dengan jelas keterpaduan antara irfani, filsafat, dan agama. Irfani
sebagai hasil dari iluminasi yang didapatkan dari pensucian diri dan jiwa, dan
pembuktian rasional dan filsafat terkait dengan al-Quran dan Hadist Nabi serta
ajaran para imam. Mulla Sadra berasumsi bahwa untuk mencapai pengetahuan yang
tinggi maka harus ada konsep Kasyf, yang di topang oleh wahyu, dan tidak
bertentangan dengan Burhani.[11]
Mulla Sadra dalam sejarah
kehidupannya seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada mulanya dia
disibukan dengan buku-buku yang diskurtif sehingga dia merasa pengetahuannya
luas dan tinggi.
Akan
tetapi disisi lain dia merasa terdapat suatu kekosongan dalam dirinya mengenai
ilmu yang sejati, sehingga baginya perlu ada suatu konsep Zauqh, dan Wijdan.
Mulla Sadra mengakui bahwa masalah ketuhanan baru bisa dipahami setelah
dasar-dasar pemikiran atau konsep fumdamental-nya dipahami lebih dulu,
pemahaman ini bisa dilalui dengan dua cara: pertama yaitu melalui intuisi
intelektual gerak cepat dan yang kedua melalui pemahaman konseptual atau gerak
lambat. Para nabi biasanya mendapatkan pengetahuan sejati melalui proses
pertama dan yang kedua biasanya dilakukan oleh para ilmuan, ahli pikir dan
mereka yang menggunakan rasionalitas.[12]
Mulla Sadra menginginkan ada penggabungan antara kedua metode ini, agar dalam
mendapatkan pengetahuan kita bisa mendapatkan pengetahuan yang murni dan sejati.
Mulla Sadra menganggap bahwa
pengetahuan yang diperoleh dengan tingkat pewahyuan atau kewalian sekalipun
tidak bisa diterima oleh keputusan akal, namunharus diingat bahwa jika hanya
mengandalkan akal semata pengetahuan semacam itu kemungkinan tidak bisa
dijangkau. Oleh karena itu baginya kita harus dapat membedakan sesuatu yng tidak
bisa dijangkau oleh akal dan yang mustahil bagi akal. Menurutnya untuk mengukur
kebenaran akal dan untuk menghindari dari kesalahan rasional maka kita
membutuhkan wahyu, olehnya lebih lanjut dia mengatakan bahwa hikmah itu tidak
bisa di terima jika tidak mendasarkanya pada agama. Dan seseorang yang tidak
mengetahui hakikat akan segala sesuatu bukan seorang ahli hikmah bagi Mulla
Sadra.[13] Lanjutnya
bahwa untuk menemukan kebenaran kita tidak cukup hanya bersandar pada agama
saja, akan tetapi kita harus melakukan penyelidikan dan penalaran yang tinggi,
sebab baginya tdak ada tempat kebenaran agama ataupun tempat bersandarnya
kecuali hanya pada penalaran tersebut.
Kemudian berbicara masalah akal maka
kita juga tidak bisa tidak bersandar pada agama dan wahyu, sebab akal akan
terbatas fungsinya jika tidak dipadukan dengan wahyu.
Sehingga Mulla
Sadra berusaha mengkombinasikan keduanya dengan tanpa meninggalkan salah
satunya. Inilah proses sintesa yang diberikan Mulla Sadra dalam pemikiranya, sebab
baginya agama yang benar tidak akan memberikan hukum-hukum yang bertentangan
dengan pengetahuan yang meyakinkan dan pasti. Agama yang disertai dengan akal
adalah cahaya diatas cahaya.[14]
Dengan pemikiran semacam inilah maka Mulla Sadra di katakan oleh banyak pemikir
Islam sebagai seorang yang mentransformasikan bentuk-bentuk pemikiran yang lama
kedalam pemikiran yang baru dan segar, bahkan pemikiran Mulla Sadra ini banyak
mendapat tanggapan positif dari berbagai filosofis muslim. Kemudian dengan
pemikiran ini maka Mulla Sadra berusaha menjelaskan semua masalah dengan logis
dan tidak bertentangan dengan hati. Hal ini terbukti dengan rasionalitas yang
ditunjukanya demi membuktikan pengetahuan dari visi spiritualitas.
Filsafat Wujud
Mulla Sadra
Dalam filsafatnya Mulla Sadra dia membedakan
antara wujud dan realitasnya. Menurutnya bahwa masalah wujud adalah sumber yang
sekaligus pusat dari semua metafisika, oleh karena itu jika seseorang tidak
mengetahui masalah wujud maka dia pula tidak mengetahui masalah metafisika
secara keseluruhan. Dalam hal ini Mulla sadra telah menetapkan dua proposisi
diantaranya yaitu: 1. Wujud tidak memerlukan pembuktian, karena ia sudah
terbukti dengan sendirinya. 2. Wujud tidak bisa didefinisikan. Kedua hal ini
saling berkaitan satu sama lain, sebab jika wujud tidak memerlukan pembuktian
maka wujud pula sangat janggal apabila didefinisikan. Bagi Mula sadra walaupun
wujud bersifat apriori atau pasti akan tetapi akal atau fikiran telah memahami
konsep wujud tetapi belum secara universal. Oleh sebab itu untuk menjelaskan
ketidak jelasan pemahaman itu mulla sadra mengusulkan cara penyelidikan dengan
menganalisa makna wujud dalam termenologhi yang lebih jelas.
Dalam penyelidikan Mulla sadra,
hakekat wjud menurutnya terbagi menjadi dua pandangan: yang pertama Wujud yang
lebih abstrak dan yang kedua adalah Konseptual. Wujud dalam arti abstrak adalah
bahwa wujud itu terdapat pada semua yang mawujud, sebab wujud hanya menandakan
keberadaan bagi yang maujud, apabila yang wujud tidak ada dalam maujud maka
kata keberadaan mawujud juga tidak ada. Kemudian wujud dalam arti konseptual
adalah sebagaimana yang diakui oleh kaum parepatetik bahwa wujud pada
hakekatnya adalah wujud dari sesuatu, dan tidak ada yang lebih rill selain
wujud itu sendiri.[15]
Dalam pemahaman Mulla sadra wujud merupakan
sifat yang umum pada seluruh yang ada, tetapi kemudian wujud pada yang ada itu
berbeda-beda, Wujud bagi mulla sadra tidak terdapat dalam pikiran karena esensi
wujud ia berada pada dunia external, sebab jika wujud berada pada fikiran maka
berarti konsep “ADA” telah hilang, sementara dalam pembahasn sebelumnya mulla
sadra berasumsi bahwa wujud menandakan tingkat keberadaan akan sesuatu.
KESIMPULAN
Mulla
Sadra adalah tokoh yang berusaha menyintesiskan pemikiran-pemikiran
pendahulunya mengenai penalaran rasional dengan konsep iluminasi yang dikemas
dalam Hikmah Al- Mutaalliyahnya. Dalam pemikirannya ini dia berusaha
menggabungkan antara agama, filsafat, dengan konsep Zauqh atau Israqih. Bagi
Mulla sadra ketiga hal ini saling membuktikan kebenaran dan tidak bertentangan
satu sama lain. Oleh karna itu kita harus dapat membedakan mana yang mustahil
bagi akal dan mana yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Agama dan Wahyu bagi Mulla sadra adalah bukan
sesuatu yang mustahil bagi akal, akan tetapi ia belum bisa dijangkau oleh akal.
Sebaliknya jika agama dan wahyu tidak bersandar pada rasionalitas maka agama
itu akan terkesan meninggalkan keyakinan terhadap ilmu yang pasti, sebab agama
yang disandarkan pada penalaran merupakan cahaya diatas cahaya.
Pemikiran
Mulla Sadra yang kedua adalah Filsafat Wujudnya, Wujud dalam pandangan mulla
sadra ada dua hal yakni wujud abstrak dan wujud konseptual. Mulla sadra tidak
sependapat dengan para filosofis yang menyatakan bahwa wujud merupakan hasil
abstraksi mental dari suatu pemikiran. Pemikiran seperti ini baginya telah
menghilangkan konsep “ada’ pada wujud, hal yang perlu diketahui adalah wujud
itu menandakan keberadaan sesuatu dan wujud secara universal merupakan esensi
yang terdapat dalam sesuatu yang ada, maka apabila wujud dikatakan hanya berada
dalam fikiran maka dia tidak memenuhi sarat yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Al-quran
al-Karim
Blackburn,
simon, 2013. Kamus Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Nur, Syaifan,
2002. Filsafat wujud Mulla Sadra, Yogyakarta: Pustaka pelajar
[2]
Seyed Hossein Nasr, Sadr Al-Din shirazi , hal. 31 dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud
Mula Sadra , hal . 43
[3]
Diberitakan bahawa karena Ayahnya tidak memilki anak Laki-Laki sehingga dirinya
berjanji akan membantu farkir miskin dan ahli ilmu jika ia mendapat anak Lelaki
dari ALLAH SWT. Lihat Syaid Abu al-Hasan Husaini Qazwini, The Life Of Sadra
Al-Muta’alihin, dalam Seyed Hossein
Nasr, yadnama Mula Sadra, Hal. 7, dalam Syaifan Nur, Filsafat wujud
Mulla Sadra, hal. 44
[5]
Diberbagai tempat dalam Shar al-Usul min al- Kafi, Mulla Sadra
menyatakan kesaksiannya tentang hal ini. Secara jujur dia menyatakan bahwa
dalam ilmu-ilmu keagamaan dia mengambil dan memperoleh dukungan dari Syaikh
al-Baha’i. Lihat Mulla Sadra, Syar al-Usul min al-Kafi, h.
12,16,126,324. Sebagaimana dikutip oleh Muhsin Bidarfar dalam pendahulunya
terhadap Mulla Sadra, Tafsir al-Quran al-Karim, J.I, h. 87-88, dalam
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, hal. 46
[6]Fazlur
Rahman, The Philoshophy of Mulla
Sadra, (Albany: State Univercity of New York Press), hal. 3, dalam Syaifan
Nur, Filsafat ujud Mulla Sadra, hal. 49.
[7]
Al-Baqarah ayat 269
[8]Ibnu
sina, Uyun al-Hikmah, (Kairo: t.p.,1326 H), hal. 30 , dalam Syaifan Nur,
Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 100.
[9]Syaifan
Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002),
hal. 61-62.
[10]Lihat
Seyed Hossein Nasr, Sadr al-Din
Shirazi, hal. 88, dalam Syaifan Nur,
Filsafat wujud Mulla Sadra, hal.
122
[11]
Pernyataan Mulla Sadra dalam kitab al-Masya’ir, dalam Syaifan Nur, Filsafat
wujud Mulla Sadra, hal. 123 .
[12]
Lihat Mulla Sadra, Tafsir al-Quran
al-Karim, j. VI, hal. 204, dalam
Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 124
[13]
Lihat Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyyah, j. V, hal. 205,dalam
Syaifan Nur, Filsafat wujud Mulla Sadra, hal. 125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar